Pembantaian Westerling I
Massaker di Sulawesi Selatan
Desember 1946-Februari 1947
Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Westerling serta anak buahnya adalah war crimes (kejahatan perang) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, sebagian besar dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan adalah kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Menurut International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan. Ulah Westerling serta anak buahnya baik di Medan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa APRA, hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari pengkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut. Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang pembunuh kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis. Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling's Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor. Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai sepak-terjang Westerling selama di Indonesia dan pelariannya dari Indonesia setelah "kudetanya" yang gagal. Nampaknya ada hal-hal yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana "kudeta", yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda, dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas” tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang di Jawa tergabung dalam ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan oleh tentara ke XVI Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris, yang ditugaskan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan para interniran Eropa dari tahanan Jepang serta memulihkan ketertiban dan keamanan. Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia menugaskan Letnan Jenderal Sir Philip Christison memimpin Allied Forces in the Netherlands-Indies – NEFIS (Tentara Sekutu di India Belanda).
Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest ditugaskan untuk mengkoordinasi pemulihan tawanan serta interniran Sekutu yang berada di Sumatera Utara.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.
Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.
Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi di belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II. | ||||||||||
Tragedi kemanusiaan di Sulawesi Selatan Sementara di Linggajati tengah dilakukan perundingan, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit dari rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik. Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan. Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu. Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendidikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka. Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter Insurgency. Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua. Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria. Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah "11 ekstremis", "23 perampok" dan "seorang pembunuh.” Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa. Demikianlah “sweeping a la Westerling” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang. Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi. Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh. Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang. Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), adakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.). Seorang saksi mata yang menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258 – Saksi mata dan juga korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya: Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya. Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan. Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. ...Kami bersyuku,r bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. ... ' Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh. H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun. Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling. Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda. Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa. Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947. Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten. Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa. Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang. Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda. Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. Oleh Batara R. Hutagalung |