31 Desember, 2007

Sejarah Bangsa Indonesia

Pembantaian Westerling I
Massaker di Sulawesi Selatan
Desember 1946-Februari 1947

Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Westerling serta anak buahnya adalah war crimes (kejahatan perang) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, sebagian besar dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan adalah kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Menurut International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.

Ulah Westerling serta anak buahnya baik di Medan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa APRA, hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari pengkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.

Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang pembunuh kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis.

Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling's Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor. Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai sepak-terjang Westerling selama di Indonesia dan pelariannya dari Indonesia setelah "kudetanya" yang gagal. Nampaknya ada hal-hal yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana "kudeta", yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda, dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas” tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang di Jawa tergabung dalam
ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan oleh tentara ke XVI Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.

Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris, yang ditugaskan oleh
Allied Forces (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan para interniran Eropa dari tahanan Jepang serta memulihkan ketertiban dan keamanan. Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia menugaskan Letnan Jenderal Sir Philip Christison memimpin Allied Forces in the Netherlands-Indies – NEFIS (Tentara Sekutu di India Belanda).
General IMAMURA Hitoshi, commander of the Japanese Eighth Area Army, signs the surrender documents during the official surrender ceremony on board the British aircraft carrier HMS Glory off the coast of Rabaul, 6 September 1945. With this act Lieutenant General Vernon A. H. Sturdee, commander of the Australian First Army, accepted the surrender of all Japanese forces in New Guinea, New Britain and the Solomons.

Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest ditugaskan untuk mengkoordinasi pemulihan tawanan serta interniran Sekutu yang berada di Sumatera Utara.

Pada 6 September 1945 Brondgeest mulai merekrut semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.

Kemudian pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan memimpin rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest.

Westerling lahir di Istambul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou, yang berasal dari Yunani. Westerling, yang dijuluki “si Turki” karena lahir di Istambul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”, “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry” dsb.

Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.

Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten -
BBO (Biro untuk Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944 pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor. Tanggal 25 Juni 1945 dia masuk ke dinas KNIL dengan pangkat (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI).

Di Eropa, Jerman sudah menyerah dan kekalahan tentara Jepang hanya tinggal menunggu waktu saja. Di Australia dan Sri Lanka,
Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.

Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda pertama kali tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari seorang perwira Belanda mantan anggota Korps Insulinde. Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat.

Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di Hindia Belanda.

Jhr. M.W.C. de Jonge Sisselaar sedang melatih tentara KNIL Moerdjorna warga Pribumi

Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van ParachutistenSOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.

Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.

Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka berasal dari suku Ambon, Menado, Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan beberapa orang Tionghoa. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.

Marsose »» KNIL »» Heiho/Peta »» TKR »» ABRI »» TNI (modern reformation)

Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.

Mouwembleem Korps Speciale TroepenOprollen van een parachute na een geslaagde landing, Tjimahi, 1948
Latihan KNIL di CImahi
'Ernie' Oakley and the Chindits
The Chindits

Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi di belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.

Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL
W.J. Schneepens mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciaale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL (Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee –marsose- yang bertugas di Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat tusukan rencong). Gagasan ini kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen - DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di Hindia Belanda. Kamp dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.

Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.

Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn, menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik; Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, kemudian diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811.

Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post (lihat: Post, Sir Laurens van der, The Admiral’s Baby, John Murray, London 1996 hlm. 268): “I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.

Laurens van der Post adalah seorang perwira tentara Inggris kelahiran afrika Selatan, yang bertugas di Indonesia (India-Belanda) dan diinternir selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada bulan September 1945, dia diangkat menjadi Gubernur Militer tentara Inggris untuk Jakarta (Batavia).

Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5 –penghancur dan pembantai Surabaya November 1945- yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.

Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa perilaku Belanda dan militernya yang brutal terhadap rakyat Indonesia telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der Post menulis:
“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers.”

Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga kebiadaban tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan, kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya pada bulan November 1945.

Sementara itu, dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Leslie "Ming the mercyless" Morshead “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia Timur, dan setelah wilayah tersebut “bersih dan aman”, diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (
NICA), sesuai persetujuan CAA (Civil Affairs Agreement) yang ditandatangani di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945.

Sebenarnya persetujuan tersebut antara Inggris dan Belanda, di mana Inggris membantu Belanda “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan setelah kekuatan bersenjata RI dihancurkan, maka wilayah tersebut diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South-East Asia tidak mempunyai cukup pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara Inggris dibantu dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morsehead -yang karena kekejamannya mendapat julukan "Ming the Merrciless", tokoh kejam dalam cerita fiksi Flash Gordon- yang sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area Command) pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur (Hutagalung-2001, hlm. 164 – 165). Hal ini jelas penyalahgunaan tugas dari Allied Forces (tentara Sekutu).

Setelah menganggap bahwa Indonesia Timur telah “bersih” dan aman, maka pada 13 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia Timur kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Kemudian van Mook segera memanggil orang-orang Indonesia dari Indonesia Timur pendukung Belanda untuk mengadakan pertemuan di Malino, dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 16-22 Juli 1946 Belanda menggelar yang dinamakan
Konferensi Malino.

Inggris yang kemudian diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946. (lihat: Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta 1962, hlm. 493).

Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, sejak pecahnya Perang Dunia II di Eropa- kembali ke negaranya.

Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon, sehingga hasil perundingan tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati. Butir yang terpenting bagi Indonesia tertuang dalam pasal 1, yaitu:

“Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”

Tragedi kemanusiaan di Sulawesi Selatan
Sementara di Linggajati tengah dilakukan perundingan, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit dari rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik.

Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendidikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.

Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter Insurgency.

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan.

Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah "11 ekstremis", "23 perampok" dan "seorang pembunuh.”

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah “sweeping a la Westerling” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.

Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), adakalawa
(17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).

Sluit dit vensterSluit dit venster

Seorang saksi mata yang menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258 –
263
). Berikut ini adalah cuplikan penuturannya:
'... Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain."

Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan. Pagi itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara besar Pare-Pare.

Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begiru kami berhenti, kami dibentak disuruh berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga.

Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.
ayah gugur ..... Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”
“Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!” teriak saya
geram...
...Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah ...
Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan ... saya pun tidak sadarkan diri.

Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya ... Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu...'


Saksi mata dan juga korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya:
'... Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.

Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru.


Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah
dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

...Kami bersyuku,r bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. ... '

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda.

Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.

Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Oleh Batara R. Hutagalung

manca X-pose

Misteri kematian Bhutto

Benazir Bhutto dibunuh dalam satu perhimpunan Pilihanraya di Rawalpindi, Pakistan. Dunia mula mencari-cari siapakah dalang di sebalik pembunuhan tersebut. Sebagaimana biasa, tidak lama kemudian, Barat menuding jari ke arah A l Qaedah dan Pengganas Antarabangsa yang terlibat.

alkaeeda.jpg

Ambe sendiri pun tidak tahu siapakah yang sebenarnya membunuh Benazir Bhutto terbunuh. Tapi sekiranya ada ’suicide bombing seumpama itu, sudah tentu mereka tanpa segan silu dan ragu2 , menuduh Al Qaedah lah yang bertanggungjawab. Apabila Bush menuduh ini adalah kerja pengganas/ Al Qaedah, maka pemimpin-pemimpin negara2 lain pun akan turut serta menuduh orang yang sama. In yang dipanggil US HEGEMONY.

Sama ada Benazir mahupun Musharraf, kedua-duanya mempunyai persamaan iaitu tidak beriltizam dengan pelaksanaan hukum-hukum Islam. Tapi kesan daripada pembunuhan itu menyebabkan suasana negara menjadi kucar kacir, rusuhan di merata-rata tempat. Ini lah antara keburukannya apabila keta’suban sudah menjadi darah daging dalam diri masyarakat.

Bersyukurlah walaupun masyarakat berbeza pendapat dan berbeza fahaman politik di Malaysia ini, rakyat belum lagi hilang akal untuk bertindak sedemikian. Ia mungkin kerana budaya masyarakat melayu yang lemah lembut, dan mungkin juga tahap kezaliman belum lagi ke tahap maksima. Janganlah sampai ada pemimpin politik yang dibunuh (terutamanya pembangkang) kerana tidak mustahil peristiwa seumpama itu akan terjadi di negara kita.

kelangkaan minnyak tanah

Operasi Pasar Belum Atasi Kelangkaan Minyak Tanah di Kupang

Operasi pasar minyak tanah yang digelar Pertamina bersama Pemerintah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada pekan lalu belum mampu mengatasi masalah kelangkaan minyak tanah di Kota Kupang.

Masyarakat Kota Kupang bahkan semakin gelisah karena menjelang hari Raya Natal 25 Desember yang tinggal tiga hari lagi, mereka masih sulit memperoleh minyak tanah di pasaran, kata sejumlah ibu rumah tangga, di Kupang, Sabtu.

"Pagi-pagi 'beta' (saya) 'su' (sudah) suruh anak saya ke pangkalan minyak tanah untuk tunggu, karena sejak dua hari terakhir terlambat datang dan tidak mendapat jatah," kata Ny. Rosalina dalam dialek Kupangnya.

Di sejumlah pangkalan minyak tanah di Kota Kupang, masih terlihat orang tua dan anak-anak berkumpul sejak pagi dengan membawa jerigen sambil menunggu giliran untuk memperoleh jatah minyak tanah untuk ukuran lima liter.

Ada yang mengaku, sudah berada di pangkalan sejak pukul 07.00 WITA dengan pertimbangan bisa memperoleh giliran lebih awal untuk mendapat jatah minyak tanah, saat mobil tangki mengantar minyak ke pangkalan.

Sementara itu, Kepala Pertamina Kupang, Lumban Gaol, secara terpisah menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut melalui optimalisasi peran agen, dan pangkalan minyak tanah. Bahkan, pihaknya meminta pihak perbankan membantu kelancaran transaksi keuangan dalam proses distribusi bahan bakar bersubsidi itu.

"Saya sudah surati pihak perbankan ,agar tetap melayani penarikan dan penyetoran dana BBM meskipun di hari libur bersama menjelang Natal dan Taun Baru ini. Saya juga sudah meminta para agen dan penyalur minyak tanah tetap layani masyarakat sesuai stok yang ada," kata Lumban Gaol.

Kuota minyak tanah subdisi pemerintah untuk wilayah NTT di tahun 2007 sebanyak 91.260 kilo liter (kl), sedikit berkurang dibanding kuota tahun lalu sebanyak 92.589 kl.

Rata-rata kebutuhan konsumen minyak tanah bersubsidi sesuai laporan distributor, setiap bulan mencapai 3.373 kl, sehingga setahun mencapai 88.500 kl. Masih terjadi kelebihan 2.500 hingga 4.000 kl/tahun yang dialokasikan sebagai "saving quota".

Kuota minyak tanah itu disalurkan melalui delapan depot pertamina yakni Depot Tenau, Atapupu, Kalabahi, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka dan Depot Reo, kepada 39 agen dan 1.114 unit pangkalan yang menyebar di 16 kabupaten/kota di NTT.

Khusus di Kupang, Ibukota Provinsi NTT, penyaluran minyak tanah sesuai quota melalui 13 agen dan 441 pangkalan.

Sementara itu, kuota minyak tanah untuk konsumen industri di tahun 2007 mencapai 590 kl, langsung dari delapan depot pertamina atau tidak dibenarkan melalui agen atau pangkalan. (*)

29 Desember, 2007

SAMARINDA


Samarinda dan Kehidupan

Malamnya

Suasana dingin telah menyelimuti sepanjang sungai Mahakam Samarinda Kalimantan Timur, suara terompet kapal pengangkut batu barapun juga telah merapatkan badannya disahbandar pelabuhan sungai yang dikenal cukup deras itu, masyarakatpun yang seharian sibuk dengan aktifitasnya kini sudah tak tampak lagi, suasana malam sudah terasa dilangit langit kota Samarinda jantung kota Kalimantan Timur ini seakan tak pernah henti dalam aktifitasnya, pergantian antar waktu seakan telah bersambung juga terjadi pergantian pola aktifitas penghuni kota yang indah ini. Seringnya terjadi pemadaman listrik di jantung kota akibat daya guna yang melebihi kapasitas seakan tak menjadi halangan bagi para pekerja malam yang didominasi oleh para kaula muda dan pecinta kehidupan malam,

Namun sayang kota yang nyaman dan takpernah tidur ini tidak diimbangi dengan penataan kota yang sempurna, sehingga jalanan menjadi macet dan becek, bahkan tidak sedikit para pengguna jalan yang terjebak macet saat hujan mengguyur kota Samarinda ini, pergantian aktifitas manusia mulai berubah sepanjang sungai mahakam seakan tak pernah sepi dari berbagai aktifitas warung warung kecil dengan lampu remang remang sudah menjadi hiasan dipinggiran sepanjang sungai mahakam membuka Non stop sampai pagi. Bagi kalangan para hidung belang di Samarinda warung tepian, nama yang di pakai warung remang di tepi sungai Mahakam itu sudah tak asing lagi sebagai warung tempat mangkalnya para pekerja seks komirsial (PSK)

“ Om… sini dong om, jangan pergi Jauh jauh disini juga bisa” suara panggilan segerombolan para gadis gadis belia yang sedang menunggu tamu, yang mau ngajak kencan sesaat dengan suara manjanya, saat Tim X-pose berjalan menikmati pinggiran sungai mahakam yang indah disaat malam hari, tepatnya di depan kantor Gubenuran Kalimantan Timur.

Ajang esek-esek itu tidak hanya bisa memberikan servis sesaat nemun para PSK inipun ada cara cara tersendiri agar bisa lolos dari kejaran trantib/ Satpol PP (Polisi Pamung Praja/red) dan mereka biasanya banyak yang mengaku sebagai pelayan warung agar status dia sebagai PSK sedikit bisa tertutupi, dan biasanya kalau ada tamu yang mau memboking untuk ngajak kencan dan lain sebagainya para PSK ini sudah memboking kamar Hotel terlebih dahulu dengan membayar sewa kamar yang dijadikan ajang transaksi kenikmatan tersebut,

Karena para pelaku pramu nikmat ini rata rata pendatang dari luar kota Samarinda, diantaranya dari Jawa, Sulawesi, dan rakyat Kalimantan itu sendiri, mereka setiap harinya tinggal di rumah kos, dan pagi harinya mulai menempati hotel ekonomi yang sudah di bokingnya sampai jam 18.00 WITA. sudah terisi penuh karena sebelumnya sudah di boking terlebih dahulu oleh para PSK yang memakai jasa Hotel sebagai ajang transaksi esek esek guna mencari keuntungan dari menjual tubuh. (red)

24 Desember, 2007


Program Proyek JPES 2007 Desa Suco Lor

Disunat oleh Oknum Camat Maesa

Program JPES 2007 Desa Suco Lor Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso, kembali menyisakan sebuah permasalahan yang dipicu dari beberapa keluhan sejumlah warga miskin setempat khususnya pokgakin yang mempunyai kartu BLT yang disampaikan langsung kepada wartawan X-pose dan LSM beserta Team yang berada diareal lokasi proyek,dimana keluhan tersebut disebabkan oleh adanya sisi-sisi ketidak adilan ketua Pokma terhadap mereka sesame warga miskinnya dalam artian tidak dipekerjakannya pokgakin dalam proyek tersebut padahal mereka selalu hadir dalam setiap rapat atau musdes sebelumnya.

Saat X-pose mengadakan konfirmasi kepada Bendahara Pokmasnya dengan disaksikan beberapa LSM dan warga pokgakin Desa Suco Lor bahwa pada saat pencairan pertama sebesar Rp.50 Jt,Camat Maesan yang statusnya masih sebagai Pejabat semantara (PLT) yakni Halil yang juga sebagai Camat Grujugan telah meminta sejumlah uang sebagai pengondisian sebesar 3% kepada bendahara dan ketua pokmasnya termasuk pula pendampingnya sebesar 4% dari total jumlah dana termin pertama yang telah direalisasikan pada saat itu,dan menurut keterangan bendahara pokmasnya bahwa 4% yang diminta pendampingnya rencananya akan diberikan kepada oknum PemKab Bondowoso dan untuk apa uang tersebut bendahara tidak tahu kejelasannya termasuk siapa orang PemKab tersebut.

Narasumber yang juga termasuk sebagai warga Pokgakin dan penerima BLT serta turut hadir pada saat X-pose dan LSM sedang mengadakan konfirmasi memberikan keterangan pula jika sebagian warga yang bekerja pada saat itu bukan warga sekitarnya tetapi rata-rata adalah warga Rt.27 sedang untuk Rt.dimana Proyek tersebut digarap tidak sekalipun dipekerjakan terbukti dengan salah satu Pokgakin yang selalu hadir dalam setiap rapat atau musdes tidak pernah dilibatkan dalam setiap pekerjaan padahal ia harus menghidupi 4 orang cucunya yang Yatim.

X-pose dan LSM yang berusaha untuk mengadakan konfirmasi dan kordinasi,baik melalui Via Telepon maupun melalui pertemuan sampai berita ini diturunkan tidak pernah sekalipun untuk menemuinya dengan alasan yang bermacam-macam sehingga diduga Camat Halili sengaja berusaha menghindar dari kejaran sejumlah Wartawan dan LSM.

X-pose dan LSM kepada Ketua Pokmas dan Bendahara“ Apakah pekerjaan proyek JPES yang telah dilakukan benar atau salah ?”,bendaharapun menjawab dengan gelagapan “ Menurut kami benar mas !”,padahal jika melihat dari tata cara dalam pengerjaan proyeknya sungguh hal yang sangat tidak wajar karena tidak adanya tatanan batu sebagai dasar sebelum pengecoran dilakukan bahkan antara koral dan campuran semen setelah tercampur langsung saja dengan seenaknya di gelar selain itu pula bahwa semua bukti pembelanjaan tidak diserahkan kepada bendahara berikut keuangannya namun dipegang oleh ketua sendiri,sesuai keterangan dari bendahara Pokmas.

Apakah yang akan dilakukan Pihak PEMKAB Bondowoso terutama BANWASKAB setelah melihat dan mendengar hasil penuturan dari para pengurus Pokmas Desa Suco Lor seperti dari penuturan bendahara Pokmasnya yang disampaikan kepada wartawan X-pose, apakah BANWASKAB akan bertindak Optimal dalam menindak lanjuti permasalahan ini,semua isi berita ini disampaikan langsung oleh masyarakat setempat dan para pengurus Pokmas kepada wartawan X-pose.(Kirmanto)

berita utama


Massa 20 Truk Demo ke Pemkab, Pilkades Bantal Dinyatakan Batal Demi Hukum, Marjoso Layangkan Surat ke Ketua Pengadilan Negeri

Pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) yang telah usai beberapa waktu lalu (28 Nopember 2007) kini oleh ribuan massa yang berasal dari desa Battal harus dilaksanakan kembali karena dinilai cacat hukum. Massa tersebut juga menyatakan bahwa pilkades di bantal itu dinyatakan gagal. Dan kekecewaan ribuan massa yang mengendarai sebanyak 20 truk tersebut, ditindaklanjuti dengan cara melayang surat kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Situbondo dan juga berdemonstrasi serta berorasi di depan Pemkab tepat pada pukul 10.00 WIB, Kamis (14/12).

Berdasarkan pantauan Tabloid X-pose di lapangan menyatakan bahwa, selain massa mengendarai 20 truk, sebagian dari mereka juga mengendarai puluhan sepeda motor. Dan mereka meminta untuk berbicara dengan Kabag Pemerintahan Pemkab, Drs. Sofwan Hadi.

Dalam isi surat tertanggal 03 Desember 2007 tersebut Marjoso (43) dalam hal ini sebagai calon kepala desa nimir urut 01 yang berprofesi petani asal warga RT 01, RW 04, Dusun Bantal, Kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur (Jatim) dan kawan-kawan selaku penggugat tersebut, menggugat dan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri (PN) Situbondo terhadap Panutua Pilkades dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Bantal yakni Ahmad Bakir sebagai Ketua Panitia Pilkades (tergugat I), Darmansyah yang berprofesi sebagai guru pada Madrasah Miftahul Ukum Bantal (tergugat II), Wegi Susanto selaku perangkat Desa/Kerawat Desa yang juga Sekretaris Panitia Pilkades (tergugat III), Basri Alwi selaku Bendahara Panitia Pilkades (tergugat IV), Rasyid Hamidi, S.ag selaku Ketua BPD (tergugat V), dan Sahijo dalam hal ini selaku calon Kades pada nomor urut 02 (juga turut menjadi tergugat).

Adapin gugatan yang diajukan adalah karena adanya kejanggalan-kejanggalan berupa sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten situbondo Nomor 10 Tahun 2006 tentang tata cara Pemilihan Pencalonan, Pengangkatan, Pelantikan dan pemberhentian Kepala Desa menentukan bahwa selambat-lambatnya 4 bulan sebelum masa berakhirnya masa jabatan Kades, maka dengan demikian BPD memiliki kewenangan untuk membentuk Panitia Pilkades yang terdiri dari unsure perangkat desa, Pengurus lembaga Kemasyarakatan dan Tokoh Masyarakat (tomas) yang ditetapkan dalam keputusan BPD dan ketentuan itu telah dilakukan oleh tergugat V sebagai Ketua BPD sehingga terbentuklah Panitia Pilkades yang masing-masing terdiri dari Ahmad Bakir (tergugat I), Darmansyah (tergugat II), Wegi Susanto (tergugat III), Basri Alwi (tergugat IV). Dan selanjutnya setelah terbentuk Panitia Pilkades yaitu tergugat I, II, III, dan IV maka untuk melakukan penjaringan serta penyaringan terhadap bakal calon (balon) Kades adalah menjadi tugas dan tanggung jawab tergugat I, II, III, dan IV, apakah para calontelah memenuhi syarat dan criteria sebagaimana tata cara dan ketentuan yang telah digariskan dalam pasal 7 Perda No 10 Tagun 2006 tentang tata cara pemilihan, pencalonan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian Kades sehingga dutetapkanlah 2 orang calon Kades yang masing-masing adalah Marjoso (penggugat) masuk daftar nomor urut 1 dan Sahujo (turut tergugat) nomor urut 2. Selain itu, kecurangan yang terjadi yakni sebelum pelaksanaan pemungutan suara dalam Pilkades, Panitia tidak menghitung terlebih dahulu surat suara yang disediakan sebagimana yang dipersyaratkan dalam pasal 25 ayat 2 pada Perda No 10 tahun 2006 tentang tata cara pemilihan, pemcalonan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian Kepala Desa. Sedangka Kecurangan yang lain yaitu adanya salah satu warga/orang luar desa Bantal yang ikut memilih serta melakukan pemcoblosan yang bernama Rumo alias Pak Maryama yang disaksikan oleh Achmad Arifin dan Budiono, serta ada dua anak di bawah umur yang ikut memilih/mencoblos surat suara yang masing-masing bernama Eni riskiyah dan Eli Misroy dan hal itu disaksikan langsung oleh Achmad Jazuli dan Erfandi. Dan dengan adanya banyak kecurangan yang dilakukan oleh keempat tergugat tersebut, penggugat telah dirugikan secara materiil maupun ummateriil senilai Rp 235. 700.000 dengan rincian biaya persiapan sebagai calon Kades selama 4 bulan berupa konsumsi terhadap para pendukung dan penggalangan massa serta administrasi sebesar Rp 20.000.000, biaya pendaftaran sebesar Rp 15. 700.000 dan keruguan immaterial senilai Rp 200.000.000.

“Kami akan meneruskan kasus kecurangan Pilkades di Bantal ini melalui jalur hukum, agar hukum di Negara kita benar-benar ditegakkan, mas. Dan untuk selanjutnya Pilkades yang telah dilaksanakan pada 28 Nopember 2007 lalu itu kami nyatakan batal demi hukum,” ujar salah satu pendukung Marjoso yang enggan dikirankan namanya di sela-sela demonstrasi, Kamis (14/12). (ans/osp)

19 Desember, 2007



Rakyat KUKAR gelar Aksi Damai

Atas Vonis Syaukani

Putusan Majlis Hakim Tipikor yang memvonis Bupati Kutai Kartanegara (KUKAR) Syaukani Hassan Rais yang biasa dipanggil Kaning, dengan putusan hukuman 2,5 Tahun penjara dan denda 50 juta rupiah, membuat pendukungnya melakukan gelar aksi turun ke jalan sambil memberikan bunga kepada setiap pengendara yang melintas, aksi tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap Bupati Kukar Tenggarong Syaukani HR, yang dinilai tidak bersalah oleh para pendukungnya, dan menganggap putusan Tipikor yang di jatuhkan pada Bupati di daerah terkaya di Indonesia itu dianggap tidak adil.

Aksi yang dilakukan oleh Kaning Fans Club (KFC) Kalimantan Timur (KALTIM) yang terdiri dari kelompok anak muda dan tokoh masyarakat Kukar ini, apa yang dituduhkan Majlis Hakim Tipikor di Jakarta kepada Kaning nama panggilan Syaukani atas kasus Korupsi yang didakwakan padanya, karena majlis hakim sendiri tidak pernah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi ahli yang telah dihadirkan kepersidangan ,Namun sayang sekali keterangan mereka tidak dianggap oleh Majlis Hakim<>

Syaukani yang dinilai sebagai Robin Hutnya Kukar Tenggarong bagi rakyatnya, yang telah memperjuangkan Otonomi Daerah sehingga Kukar bisa menjadi seperti sekarang ini, dan rakyat Kukar sudah bisa hidup lebih layak, itu semua tidak lepas dari perjuangan Syaukani selama menjabat sebagai Bupati di Kutai Kartanegara yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan pembangunan daerahnya, maka dari itu pantas bila sang pahlawannya dituduh melakukan tindak pidana korupsi rakyat Kukar Tenggarong tidak terima.

Sebagai bentuk kepedulian KFC KALTIM yang menggelar aksi damai itu dengan mengibarkan spanduk yang berukuran panjang bertuliskan:> Persembahan Untuk Syaukani: Menggugah Nurani, yang telah memperjuangkan Otonomi Daerah> sedangkan satu sepanduk lagi bertuliskan dukungan terhadap Syaukani :> Kaning Fans Club Kalimantan Timur menuntut keadilan hokum untuk Syaukani, menggugat kepedulian Rakyat untuk Kutai Kartanegara> aksi damai yang digelar didepan kantor Bupati Kukar tepatnya di jalan Wolter Monginsidi Tenggarong itu berjalan dengan tertib dan diselimuti rasa haru dari setiap penggelar aksi yang didominasi oleh para kaula muda dan ibu ibu itu,>aksi ini sebagai rasa kepedulian dan keprihatinan kami rakyat Kukar Tenggarong terhadap kasus Hukum yang menimpa Pak Syaukani yang dinilai melakukan Korupsi oleh Majlis Hakim Tipikor di Jakarta,> kata ketua KFC KALTIM Muhib bin Ali, yang menurutnya apa yang di tuduhkan Tipikor terhadap Pak Syaukani tidak pernah terbukti ada kerugian uang Negara yang dirugikan, sampai semua saksi ahli dihadirkan.

Aksi yang digelar di depan Kantor bupati itu sebagai bentuk dukungan moril sebagai Rakyat kutai Kartanegara, dan meminta kepada Rakyat Kukar agar terus memberikan dukungan bagi pahlawannya yang telah mengabdikan dirinya membangun Kutai Kartanegara menjadi seperti sekarang ini, tambah Muhib disela sela aksi beberapa waktu yang lalu. (tim/red)

SETELAH SANG AYAH MEMBATAI SADIS SANG BUAH HATI HINGGA TEWAS

Apa motif NENGAH BUDIANA [36]yang tega membantai anak semata wayangnya PUTU AGUS DARMA PUTRA [7] hingga tewas dengan usus terburai masih tanda Tanya.isu yang berkembang di masyarakatsekitar mengatakan pembantaian disiang bolong itu terjadi karena kekesalan dan rasa tertekan lantaran istrinya I NENGAHSUKIANI [34]minta cerai ternyata memang benar adanya.dari sumber yang dapat di percaya mengatakan BUDIANA itu memang mempunyai sipat keras dan tempramen tinggi dan keributan itu sering terjadi hanya karma masalah kecil.msayararakat yang dekat rumahnya mengatakan keributan itu sering trjadi bahkan budiana tak segan segan menganiaya sang sang istri yaituSUKIANI.bahkan BUDIANAsering mengancam akan membunuh ,hingga nasib malang menimpa sang anak yang masih lugu dan tak tahu apa apa menjadi korban biadab sang ayah.karna sering cekcok itulah nengah sukiani tak tahan dan pergi alias minggat kerumah orang tuanya di bilangan jalan buana kubu padang sambian denpasar bali.satu minggu sebelum kejadian berdarah itu terjadi budiana berniat menjual tanah warisan ayahnya namun sang istri sangat menolak karna tanah warisan itu untuk masa depan sang anak.karna istrinya menolak itulah budiana menjadi marah dan perang mulutpun terjadi bahkan budiana tak segan memukul istrinya hingga sukiani tak tahan kemudian minggat kerumah orang tuanya,namun budiana bukanya mencegah kepergian istrinya justru mengancam akan membunuhnya beserta sang anak.

Sebenarnya dirumah itu di huni empat orang yaitu NYOMAN RETYA [ayah pelaku]BUDIANA [pelaku]SUKIANI[istri pelaku]dan PUTU AGUS DARMA PUTRA [anak] istri minggat kerumah orang tuanya dan kebetulan sang ayah kala itu pergi menginap dirumah adiknya KICEN ditegal jaya dalung,dua hari sebelum kejadian budiana sempat minta bantuan ke keluarganya yang lain[sepupunya] untuk menengahi masalah dan memohon untuk menjemput istrinya di rumah orang tuanya.hal itu masih di upayakan namun pelaku keburu berbuat nekad dan petaka itupun terjadi.sedangkan untuk hidup bermasyarakat di banjar canggu budiana tidak pernah aktif ,dari kesepakatan warga budiana pernah di kenakan sangsi kesepekang[di kucilkan].budiana kasar terhadap keluarganya dari anaknya agus berumur satu tahun.namun sukiani tetap sabar bertahan dan membuka warung kelontong serta menjual bensin di rumahnya.sukiani menjelaskan dia terakhir kali bertemu dengan putu aguspada hari sabtu [10/11] bertepatan pada hari raya saraswati,dan saya sempat membawa anak saya kerumah orang tua saya di padang sambian jelas sukiani.namun pelaku mengetahui hal itu dan sudah pasti pelaku marah besar serta langsung menjemput anak nya dan memaksa untuk kembali pulang bersamanya.dengan mata berkaca kaca sukiani menceritakan pertemuan terakhirnya dengan sang anak dan kala itu sukiani ber pesan “agus rajin belajar ya..kalau nanti bapak menjemput” kenang sukiani.kematian anak semata wayangnya membuat kebencian yang mendalam kepada pelaku kendatipun pelaku saat ini berada dirumah sakit menjalani perwatan intensif karna setelah menikam sang anak dengan golok hingga perut terburai budiana berusaha membunuh dirinya sendiri dengan cara menikam perutnya sendiri dan tentu pula isi perut terburai hingga tim dokter harus memotong tiga usus nya, dan nyawanya pun berhasil di selamatkan.saat x pose menanyakan kenapa tak menengok suaminya di rumah sakit?sukiani menjawab dengan nada benci’saya sudah tak peduli dengan keadaannya mau mati atau bagai manapun keadaannya itu bukan urusan saya lagi’.di tempat terpisah x pose menyambangi budiana yang dirawat pada tgl 14/11/07 di RSUP sanglah, budiana masih menjalani perawatan intensip diruang MS no 203 yang di pimpin langsung oleh dr ida bagus putu alit dfm.sp.f. menjelaskan operasi berjalan lancar yang di laklsanakan pukul 08.30.sampai 10.00 penanganan oprasi dilakukan diantaranya luka pada kepala,perut,dada,serta penyambungan usus alus.soal pelaku menjadi tersangka kapolsek kuta utara akp ida bagus mantra belum berani berkomentar banyak karna budiana masih sakit dan belum bisa di mintai keterangan katanya.tgl 19 /11 kembali x pose menyambangi budiana di RSUP sanglah dia sering mengeluh bosan hidup dan sering mengaku dirinya sudah sehat.waktu di Tanya oleh spikiater [NYOMAN RATEP]tentang kabar yang ditulis di media prihal pembantaian itu apakah benar dan sesuai dengan kejadian,budiana [pelaku]menjawab dan sedikit bercerita bahwa kala itu sianak nonton TV sambil menggambar tampa sebab tiba tiba sianak menangis keras dan menanyakan si ibu , nah tangisan itu yang mem buat pelaku marah dan gelap mata ,saat itu pula pelaku ambil golok dan langsung membantai sadis sang anak hingga tewas di tempat.usus anak terburai setelah anak twas dengan perut terburai tiba tiba timbul rasa iba budiana ,sambil menangis ia mengangkat tubuh sang anak ke atas kasur kemudian budiana menikam dirinya sendiri ber ulang ulang hingga tetangga menjadi heboh dan menolongnya.dia mengaku gelap mata dan saying terhadap anaknya.dokter mengatakan bila budiana sudah stabil kondisinya dia akan di pindahkan ke rumah SAKIT TRIJATA POLDA BALI disanalah akan di gembleng secara pisikis sampai sembuh total.dan bila sudah sehat dia akan di serahkan kembali kepada aparat hokum yaitu polsek kuta utara.kian hari kian membaik kondisi budiana hingga kamis29/11/07 dijemput dan di periksa di polsek kuta utara.kapolres badung AKBP ABDUL LATIEF. SH ikut serta menyaksikan jalannya pemeriksaan nengah budiana di polsek kuta utara,pihaknya telah mendatangkan spikiater untuk memeriksa kejiwaan nengah budiana.dan dari hasil pemriksaan budiana dinyatakan sehat alias tidak mengalami gangguan jiwa.kian jelas sudah status budiana yang kini berubah menjadi tersangka dan dikenakan pasal 338 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara.saat di Tanya budiana mengaku menyesal atas per buatannya.bahkan guru ditempatnya dia menimba ilmu,merasa terkejut dan sangat tak percaya kalau anak asuhnya telah meninggal di tangan bapaknya.semua teman teman agus merasa kehilangan teman bermainnya.(nyoman kopral)

Liputan Kriminal

SETELAH SANG AYAH MEMBATAI SADIS SANG BUAH HATI HINGGA TEWAS

Apa motif NENGAH BUDIANA [36]yang tega membantai anak semata wayangnya PUTU AGUS DARMA PUTRA [7] hingga tewas dengan usus terburai masih tanda Tanya.isu yang berkembang di masyarakatsekitar mengatakan pembantaian disiang bolong itu terjadi karena kekesalan dan rasa tertekan lantaran istrinya I NENGAHSUKIANI [34]minta cerai ternyata memang benar adanya.dari sumber yang dapat di percaya mengatakan BUDIANA itu memang mempunyai sipat keras dan tempramen tinggi dan keributan itu sering terjadi hanya karma masalah kecil.msayararakat yang dekat rumahnya mengatakan keributan itu sering trjadi bahkan budiana tak segan segan menganiaya sang sang istri yaituSUKIANI.bahkan BUDIANAsering mengancam akan membunuh ,hingga nasib malang menimpa sang anak yang masih lugu dan tak tahu apa apa menjadi korban biadab sang ayah.karna sering cekcok itulah nengah sukiani tak tahan dan pergi alias minggat kerumah orang tuanya di bilangan jalan buana kubu padang sambian denpasar bali.satu minggu sebelum kejadian berdarah itu terjadi budiana berniat menjual tanah warisan ayahnya namun sang istri sangat menolak karna tanah warisan itu untuk masa depan sang anak.karna istrinya menolak itulah budiana menjadi marah dan perang mulutpun terjadi bahkan budiana tak segan memukul istrinya hingga sukiani tak tahan kemudian minggat kerumah orang tuanya,namun budiana bukanya mencegah kepergian istrinya justru mengancam akan membunuhnya beserta sang anak.

Sebenarnya dirumah itu di huni empat orang yaitu NYOMAN RETYA [ayah pelaku]BUDIANA [pelaku]SUKIANI[istri pelaku]dan PUTU AGUS DARMA PUTRA [anak] istri minggat kerumah orang tuanya dan kebetulan sang ayah kala itu pergi menginap dirumah adiknya KICEN ditegal jaya dalung,dua hari sebelum kejadian budiana sempat minta bantuan ke keluarganya yang lain[sepupunya] untuk menengahi masalah dan memohon untuk menjemput istrinya di rumah orang tuanya.hal itu masih di upayakan namun pelaku keburu berbuat nekad dan petaka itupun terjadi.sedangkan untuk hidup bermasyarakat di banjar canggu budiana tidak pernah aktif ,dari kesepakatan warga budiana pernah di kenakan sangsi kesepekang[di kucilkan].budiana kasar terhadap keluarganya dari anaknya agus berumur satu tahun.namun sukiani tetap sabar bertahan dan membuka warung kelontong serta menjual bensin di rumahnya.sukiani menjelaskan dia terakhir kali bertemu dengan putu aguspada hari sabtu [10/11] bertepatan pada hari raya saraswati,dan saya sempat membawa anak saya kerumah orang tua saya di padang sambian jelas sukiani.namun pelaku mengetahui hal itu dan sudah pasti pelaku marah besar serta langsung menjemput anak nya dan memaksa untuk kembali pulang bersamanya.dengan mata berkaca kaca sukiani menceritakan pertemuan terakhirnya dengan sang anak dan kala itu sukiani ber pesan “agus rajin belajar ya..kalau nanti bapak menjemput” kenang sukiani.kematian anak semata wayangnya membuat kebencian yang mendalam kepada pelaku kendatipun pelaku saat ini berada dirumah sakit menjalani perwatan intensif karna setelah menikam sang anak dengan golok hingga perut terburai budiana berusaha membunuh dirinya sendiri dengan cara menikam perutnya sendiri dan tentu pula isi perut terburai hingga tim dokter harus memotong tiga usus nya, dan nyawanya pun berhasil di selamatkan.saat x pose menanyakan kenapa tak menengok suaminya di rumah sakit?sukiani menjawab dengan nada benci’saya sudah tak peduli dengan keadaannya mau mati atau bagai manapun keadaannya itu bukan urusan saya lagi’.di tempat terpisah x pose menyambangi budiana yang dirawat pada tgl 14/11/07 di RSUP sanglah, budiana masih menjalani perawatan intensip diruang MS no 203 yang di pimpin langsung oleh dr ida bagus putu alit dfm.sp.f. menjelaskan operasi berjalan lancar yang di laklsanakan pukul 08.30.sampai 10.00 penanganan oprasi dilakukan diantaranya luka pada kepala,perut,dada,serta penyambungan usus alus.soal pelaku menjadi tersangka kapolsek kuta utara akp ida bagus mantra belum berani berkomentar banyak karna budiana masih sakit dan belum bisa di mintai keterangan katanya.tgl 19 /11 kembali x pose menyambangi budiana di RSUP sanglah dia sering mengeluh bosan hidup dan sering mengaku dirinya sudah sehat.waktu di Tanya oleh spikiater [NYOMAN RATEP]tentang kabar yang ditulis di media prihal pembantaian itu apakah benar dan sesuai dengan kejadian,budiana [pelaku]menjawab dan sedikit bercerita bahwa kala itu sianak nonton TV sambil menggambar tampa sebab tiba tiba sianak menangis keras dan menanyakan si ibu , nah tangisan itu yang mem buat pelaku marah dan gelap mata ,saat itu pula pelaku ambil golok dan langsung membantai sadis sang anak hingga tewas di tempat.usus anak terburai setelah anak twas dengan perut terburai tiba tiba timbul rasa iba budiana ,sambil menangis ia mengangkat tubuh sang anak ke atas kasur kemudian budiana menikam dirinya sendiri ber ulang ulang hingga tetangga menjadi heboh dan menolongnya.dia mengaku gelap mata dan saying terhadap anaknya.dokter mengatakan bila budiana sudah stabil kondisinya dia akan di pindahkan ke rumah SAKIT TRIJATA POLDA BALI disanalah akan di gembleng secara pisikis sampai sembuh total.dan bila sudah sehat dia akan di serahkan kembali kepada aparat hokum yaitu polsek kuta utara.kian hari kian membaik kondisi budiana hingga kamis29/11/07 dijemput dan di periksa di polsek kuta utara.kapolres badung AKBP ABDUL LATIEF. SH ikut serta menyaksikan jalannya pemeriksaan nengah budiana di polsek kuta utara,pihaknya telah mendatangkan spikiater untuk memeriksa kejiwaan nengah budiana.dan dari hasil pemriksaan budiana dinyatakan sehat alias tidak mengalami gangguan jiwa.kian jelas sudah status budiana yang kini berubah menjadi tersangka dan dikenakan pasal 338 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara.saat di Tanya budiana mengaku menyesal atas per buatannya.bahkan guru ditempatnya dia menimba ilmu,merasa terkejut dan sangat tak percaya kalau anak asuhnya telah meninggal di tangan bapaknya.semua teman teman agus merasa kehilangan teman bermainnya.(nyoman kopral)

Wanita Malaysia terusir, disaat sang suami meniggal

Sepeninggal suaminya SARBANUN BINABDUL RASAK terkatung katung tak tentu arah tujuan,wanita malaysia kelahiran kedah malaysia 19 nop 1980 tak tahan dengan nasib yang di alaminya dan akhirnya menyerahkan diri ke imigrasi mtaram.maka sarbanun dan anaknya HAIKAL[4] ketahuan kalau pendatang gelap di indonesia sehingga kini harus menghuni rumah detensi imigrasi denpasar sebelum di deportase ke negaranya malaysia.bahkan sarbanun mendadak pingsan saat di wawancarai oleh beberapa wartawan dan meng haruskan sarbanun dilarikan ke RSUP sanglah

Perempuan yang beralamat di jalan lebah sungai buaya 2300 dungau no 22 trengganu malaysia harus berlabuh di indonesia tepatnya desa taluk kecamatan taliwang kabupaten sumbawa barat NTB.diceritakan setelah menikah dengan HANDY SUPRIADI yang saat itu bekerja sebagai sopir pengangkutbuah kelapa sawit trengganu ,dari perkawinanya itu dengan pria asal lombok yang tepatnya dari desa masbagae , dikaruniani seorang anak yang bernama HAIKAL ,yang sekarang berumur empat tahun .dan kemudian saat suaminya pualang kampung mana kala saat itu sang anak baru lahir pun ikut di boyongnya.tampa mengurus pasport atau surat resmi lainya mereka memasuki indonesia dengan cara ilegal atau pendatang haram sampai empat tahunan.nasib malang kian menerpa sarbanun hidup di indonesia , bulan lalu di taluk sumbawa barat kian tak jelas hidup mulai tak terarah, karna sang mertua yang beristri empat sering ribut bahkan ngoceh tak karuan sebab tak sanggup membiayai sarbanun dan anaknya.diceritakan pada bulan ramadhan bulan lalu saat berbuka puasa [sahur] ayah mertuanya melemparkan pakaiannya dan sekaligus mengusir sarbanun untuk pergi dari rumah itu”kamu kesini tidak bawa uang malah merepotkan dan menambah beban, pulang saja kenegaramu”.cerita sarbanun sambil meperagakan sang ayah mertua marah.pagi pagi sarbanun minggat dari rumah mertuanya dan tak tahu kemana sambil menggendong anaknya dia pergi entah kemana .kata sarbanun dia jarang makan di mertuanya.semenjak suaminya meninggal hidup saya tak karuan kata sarbanun mengenangkan.kurang lebih dua bulan ia terlunta lunta dan hanya mengandalkan belas kasihan teman atau kenalan almarhum suaminya ,atau saya duduk duduk saja di jalan sampai ada orang yang memanggil kenangnya kepada wartawan dirumah detensi [RUMDEN] imigrasi denpasar rabu 21/11/07kemarin siang.dari pengembaraanya sarbanun dari satu tempat ketempat lain tibalah dia di polsek tano sumbawa, dan sarbanun harus berterimakasih banyak kepada anggota polisi disana karna polisi disana sangat peduli dengan nasibnya.rasa iba dan rasa kemanusiaan yang tinggi maka terkumpul uang urunan polisi untuk sarbanun sebesar Rp 300.000 bermodal tiga ratus ribu itulah sarbanun menghadap ke imigrasi mataram dan disanalah pelanggarannya terungkap yaitu melanggar pasal 48 yunto pasal 35 UU no 9/1992 tentang ke imigrasian kata ANTON SUMARSONO kasi perawatan dan kesehatan rumah detensi imigrasi denpasar . kata anton berdasarkan berita acara pemeriksaan [BAP]pedentensian imigrasi mtaram tgl 26 okt dia ada di rumah dentensi denpasar dikirim imigrasi mataram ,selanjutnya akan berkordinasi dengan konsulat malaysia di denpasar untuk kepulangannya kata anton.

Staf konsulat malaysia sudah dua kali membesuknya namun tugas mereka hanya sebagai fasilitator dan selanjutnya menghubungi keluarga sarbanun di malaysia. Ada indikasi malaisia lambat menangani sarbanun?atau karna sarbanun itu orang miskin di negaranya?itu bisa saja terjadi karna kenytaannya sarbanun mau menikah dengan kuli angkut sawit asal indonesia.biaya untuk kepulangan mereka belum jelas kata anton . yang lebih membuat hati kita iba adalah padasaat sarbanun diwawancarai anaknya minta dibelikan jajanan ,dengan kondisi sang ibu yang tak sehat sarbanun permisi untuk membelikan anaknya jajan.nah saat kembali sarbanun mendadak pingsan ,orang orang yang ada di sana pun menjadi bingung dan segera memberikan pertolongan dan di baringkan di bale bale yang ada di tekat taman. Kejadian itu sekitar pukul 12.30 wita karna kondisi sarbanun tak sehat maka hari itu juga langsung dilarikan kerumah sakit yaitu RSUP sanglah.informasi yang di peroleh di rsup sanglah sarbanun mengalami stres dan juga kele lahan perlu istirahat.setelah sehat nati sarbanun akan kembali memasuki rumah detensi imigrasi denpasar.sementara yang tahu keberadaan sarbanun mengatakan malaysia memang tak punya belas kasihan,makanya lambat menangani warganya. ”NYOMAN KOPRAL”

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE