22 Januari, 2008

CERPEN SENO GUMIRA ADJI DARMA

Kematian Paman Gober
Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Kematian paman gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi
yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali
penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya
satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober
memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari.
Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari
Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah
terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah.

Begitu kayanya Paman Gober, sehingga ia tak bisa hafal lagi pabrik apa
saja yang dimilikinya. Bila terlihat pabrik di depan matanya, ia hampir
selalu berkata, "Oh, aku lupa, ternyata aku punya pabrik sepatu."
Kejadian semacam ini terulang di muka pabrik sandal, pabrik rokok,
pabrik kapal, pabrik arloji, maupun pabrik tahu-tempe. Boleh dibilang,
hampir tidak ada pabrik yang tidak dimiliki Paman Gober. Ibarat kata,
uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman Gober.

Meskipun kaya raya, anggota klub milyarder no.1, Paman Gober adalah
bebek yang sangat pelit. Bahkan kepada keluarganya, Donal bebek, ia
tidak pernah mewmberi bantuan, meski Donal telah bekerja sangat
keras. Malah Donal ini, beserta keponakan-keponakan nya Kwak, Kwik,
dan Kwek, hampir selalu diperas tenaganya, dicuri gagasannya, dan
hasilnya tidak pernah dibagi.
Cendekiawan jenius Kota Bebek, Lang Ling Lung, yang dimuka rumahnya
tertera papan nama Penemu, Bisa Ditunggu, pun hampir selalu
diakalinya.

Sudah berkali-kali Gerombolan Siberat, tiga serangkai kelas kakap,
menggarap gudang uang Paman Gober, namun keberuntungan selalu
berada di pihak Paman Gober. Paman Gober tak terkalahkan, bahkan
oleh Mimi Hitam, tukang tenung yang suka terbang naik sapu. Sudah
beberapa kali Mimi Hitam berhasil merebut Keping Keberuntungan, jimat
Paman Gober, namun keping uang logam kumuh itu selalu berhasil
direbut kembali. Tidak bisa dipungkiri, Paman Gober memang pekerja
keras. Masa mudanya habis di lorong-lorong gua emas. Sebuah gunung
emas yang ditemukannya menjadi modal penting yang telah
melambungkannya sebagai taipan tak tersaingi dari Kota Bebek.

Suatu hal yang menjadi keprihatinan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek
yang mengasingkan ke sebuah pertanian jauh di luar kota, adalah
kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Paman
Gober menjadi legenda yang disukai. Paman Gober begitu rakus. Paman
Gober begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada orang
mengecam, menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober
sebagai orang kaya, justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman
Gober bisa menangis tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu
sen. Ia sama sekali bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu
dicintai? "Dunia sudah jungkir balik," ujar Nenek Bebek kepada Gus
Angsa, yang meski suka makan banyak, sangat malas bekerja. Namun
Gus Angsa sudah tertidur sembari bermimpi makan roti apel.

"Suatu hari dia pasti mati," ujar Kwik.
"Memang pasti, tapi kapan?" Kwak menyahut.
"Kwek!" Hanya itulah yang bisa dikatakan Kwek.

Dasar bebek.

Begitulah, setiap hari, Lubas, anjing dirumah Donal, membawa Koran itu
dari depan pintu ke ruang tengah.

"Belum mati juga!"

Donal segera membuang lagi Koran itu dengan kesal. Karena memang
tiada lagi berita yang bisa dibaca di Koran. Banyak kabar, tapi bukan
berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan
pengetahuan. Koran-koran telah menjadi kertas, bukan media.

Semua bebek memang menunggu kematian Pman Gober. Itulah kabar
terbaik yang mereka harapkan terbaca. Paman Gober sendiri
sebenarnya sudah siap untuk mati. Maklumlah, sebagai generasi tua di
Kota Bebek, umurnya cukup uzur. Untuk kuburannya sendiri, ia telah
membeli sebuah bukit, dan membangun mausoleum di tempat itu. Jadi,
bukannya Paman Gober tidak mau mati. Ia sudah siap untuk mati.

"Mestinya, bebek seumur saya ini, biasanya ya sudah tahu diri, siap
masuk ke liang kubur. Makanya, ketika saya diminta menjadi Ketua
Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya,
sampai beberapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain
yang mampu menjadi ketua?"

Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan
Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin
sukses.
Hampir setiap bab dalam buku itu mangisahkan bagaimana Paman
Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau
emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski
tidak diberi upah tambahan. Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya
Berkuasa?. Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan
Unggas Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan
selalu berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih,
sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain lagi.

"Terlalu, masak tidak ada bebek lain?"

Paman Gober selalu berbasa-basi. Namun, entah kenapa, kini bebek-
bebek menjadi takut. Paman Gober, memang, terlalu berkuasa dan
terlalu kaya. Setiap hari yang dilakukannya adalah mandi uang. Ketika
Donal Bebek bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak
pernah peduli kepada tetangga, bantuan keuangannya kepada Donal
segera dihentikan.

"Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu, masih meleter pula."
"Apakah saya tidak punya hak bicara?"
"Bisa, tapi jangan asal meleter, nanti kamu aku sembelih."
"Aduh, kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan manusia."
"Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia."
"Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?"
"Yang jelas manusia bisa makan manusia."
"Tapi Paman mau menyembelih sesame bebek, apakah sudah mau
meniru sifat manusia?"

Paman Gober mempunyai banyak musuh, namun Paman Gober suka
memelihara musuh-musuh yang tidak pernah bisa mengalahkannya itu,
justru untuk menunjukkan kebesarannya. Paman Gober sering muncul di
televisi. Kalau Paman Gober sudah bicara, kamera tidak berani putus,
meskipun kalimat-kalimatnya membuat bebek tertidur. Paman Gober
selalu menganjurkan bebek bekerja keras, seperti dirinya, dan Paman
Gober juga semakin sering menceritakan ulang jasa-jasanya kepada
warga Kota Bebek.

"Coba, kalau aku tidak membangun jalan, air mancur, dan monumen,
apa jadinya Kota Bebek?"

Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara.

"Paman Gober," kata Donal suatu hari, kenapa Paman tidak
mengundurkan diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi, dan
merenungkan arti hidup? Sudah waktunya Paman tidak terlibat lagi
dengan urusan duniawi."

"Lho, aku mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini.
Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca butir-butir
falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk
dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang segenap
unggas? Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus
peternakan."

Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi
berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada
satu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun
kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar
seperti Kwik, Kwek, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya
dengan sejarah kepemimpinan kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki
pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober
berkuasa bahkan sudah tidak mengerti lagi, apakah pemimpin itu
memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah
semestinya.

Dan itulah celakanya kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup
Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru.
Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya
semakin canggih, membolehkan budi pekerti seperti itu. Generasi muda
ingin meniru Paman Gober, menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau
bisa paling kaya di dunia.

"Paling kaya di dunia?" Kwak bertanya.
"Iya, paling kaya di dunia," jawab Nenek Bebek.
"Apakah itu hakikat hidup bebek?"
"Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober."

Sementara itu, nun di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih
terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa.
Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun,
tapi ia bagai tak tergantikan.

Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa
dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota
Bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui hanya satu: apakah
hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan
membaca berita Kematian Paman Gober, di halaman pertama.

Jakarta, 16 Agustus 1994

Tidak ada komentar:

Arsip Berita Klik disini

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE