21 Juni, 2008

Susahnya Mendapat Informasi tentang Berkas Perkara


oleh : Didik BH

“A trial is a public event. What transpires in a court room is public property” --Warren Earl Burger, mantan Ketua MA Amerika Serikat

Cobalah sesekali iseng menanyakan ke pengadilan berapa biaya yang harus dibayar kalau ingin mengajukan gugatan perdata. Jangan lupa pula meminta dokumen resmi yang mengatur soal besarnya biaya tersebut.

Anda mungkin bisa mendengarkan penjelasan tentang besarnya biaya berperkara. Tetapi dokumen resminya? Jangan heran jika seketika petugas pengadilan tidak bisa menunjukkannya kepada Anda. Kali ini Anda sedang berhadapan dengan ketertutupan pengadilan. Mungkin di lain waktu Anda perlu menyusun strategi lain untuk mendapatkannya.

Ketertutupan memiliki andil terhadap maraknya mafia pengadilan. Kalau bukan pihak berperkara, jangan harap bisa mengakses putusan suatu perkara. Pengecualiannya hanya untuk kepentingan studi.

Birokrasi pengadilan begitu kuat mencengkeram. Orang yang ingin melihat atau mengakses suatu putusan, apalagi perkara penting, harus pintar-pintar memaknai seribu macam alasan petugas pengadilan. Ujung-ujungnya sih sudah dapat ditebak: perlu dana ekstra, tips, uang lelah, atau apapun namanya. Semakin penting dan eksklusif suatu perkara, semakin tinggi tips yang harus diberikan.

Cukup banyak orang mempunyai pengalaman buruk berurusan dengan birokrasi pengadilan. Penulis sendiri mengalami penolakan ketika berusaha meminta secara resmi putusan pengadilan. Dan cerita sejenis-–sebagaimana diceritakan sejumlah orang ke penulis--terus berlanjut. Tidak aneh kalau muncul pandangan bahwa dalam beberapa hal, pengadilan lebih tertutup dari birokrasi eksekutif dan legislatif. Budaya ketertutupan pengadilan sudah terlalu kuat. (hal. 20)

Argumen yang acapkali dilontarkan adalah berkas perkara adalah dokumen rahasia sampai ada putusan pengadilan. Tetapi bukankah putusan pengadilan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum? Dan konsekuensinya, siapapun bisa merekam putusan ketika hakim membacakannya (dalam konteks pidana).

Penulis memandang apa yang selama ini didefinisikan sebagai rahasia masih cenderung umum dan multi-interpretatif. Tidak jelas parameter yang harus dipergunakan untuk menentukan kapan suatu informasi pengadilan dapat dikategorikan rahasia dan kapan tidak (hal. 18).

Akibatnya, diskresi seorang pejabat untuk menentukan suatu rahasia menjadi sangat luas. Putusan pengadilan yang dibacakan di depan sidang terbuka pun lalu diklaim sebagai rahasia, dan hanya para pihak berperkara yang boleh mengaksesnya.

Sebenarnya ketertutupan pengadilan hanya sebagian dari kesulitan masyarakat mengakses informasi hukum. Taruhlah untuk mendapatkan Surat Keputusan (SK) seorang menteri. Jika tidak memiliki koneksi dan relasi, sulit dipercaya bahan itu diperoleh secara mudah. Demikian pula halnya di pengadilan. Kebanyakan orang tahu putusan pengadilan secara lengkap hanya dari majalah Varia Peradilan yang memang diterbitkan secara resmi oleh Ikatan Hakim Indonesia. Kalaupun hendak mendapatkan berkas dengan mudah, menurut penulis, kata kuncinya sudah jelas: pertemanan atau uang pelicin.

Selain ketertutupan pengadilan, ada dua faktor yang menjelaskan mengapa publik sulit memperoleh informasi pengadilan. Pertama, adanya kesengajaan pejabat tertentu di pengadilan, termasuk hakim, untuk menutup informasi. Bisa jadi dimaksudkan untuk menghindari sorotan publik atas kesalahan atau praktik negatif yang dia lakukan. Kedua, adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang membuka penafsiran bahwa informasi tertentu tidak boleh dibuka untuk umum. (hal. 23).

Di Indonesia, masalah akses publik terhadap informasi pengadilan baru beberapa tahun terakhir menjadi perhatian. Sebagian justru dari peneliti asing. Untuk menyebut contoh ada tulisan Marjanne Termorshuizen-Arts “Access to Legal Information”, di majalah Hukum Nasional terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) edisi 2 Tahun 2001. Atau dalam konteks Indonesia, tulisan Gregory Churchill “Access to Legal Information in Indonesia: Recent Progress, Current Problems and Future Prospects”. Sayang, kedua bahan berguna ini tidak dimasukkan ke dalam bibliografi buku yang ditulis pasangan suami isteri ini.

Buku ini hadir tepat di tengah upaya Mahkamah Agung melakukan reformasi pengadilan, termasuk reformasi keterbukaan informasi. Penulis menguraikan beberapa langkah yang harus dilakukan dunia peradilan jika ingin menerapan keterbukaan. Bahkan penulis sudah menyiapkan sebuah usulan rancangan SK Ketua MA tentang Pedoman Pelaksanaan Hak Masyarakat untuk informasi diPengadilan.

PN Kraksaan Abaikan Putusan MA


Probolinggo X-pose

Sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib.Dalam rangka mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dalam kerangka tersebut dibutuhkan suatu lembaga peradilan untuk masyarakat umum.

Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam peradilan umum adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.Kedudukan Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Dalam kasus pertanahan yang menyangkut hak seseorang secara hakiki harus tetap diperjuangkan walaupun rintangan dan hambatan menghadang, tetapi demi mendapatkan pengakuan hak kepemilikan yang syah menurut undang - undang RI yang telah diatur kesemuanya itu akan berjalan sesuai dengan haknya serta ketentuan yang berlaku, bagi warga negara indonesia yang baik tentunya akan tunduk dan patuh pada aturan dan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah tanpa pandang bulu, tanpa melihat kaya atau miskin , tanpa melihat suku dan ras semuanya itu adalah sama bahwa hukum adalah milik bersama yang wajib kita patuhi dan laksanakan. Apabila kita melanggar maka konsekwensinya adalah sangsi yang telah diatur sesuai dengan apa yang telah kita langgar.

Namun ditengah gencarnya pemerintah memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sudah mengakar dan menjadi tradisi di indonesia , sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, seperti halnya dengan Instansi peradilan hukum yang dipercaya oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tempat dimana warga negara indonesia mengadukan permasalahannya untuk mendapatkan keadilan dan memperjuangkan haknya, bagaimana bila instansi tersebut menyalahi aturan / wewenang yang diberikan melampaui batas ?? maka tentunya ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang yang akan didapatkan , bahkan mungkin bila salah satu tidak terima maka bisa terjadi pertumpahan darah seperti yang sudah pernah terjadi di Madura, dalam kasus di Madura yang intinya memperebutkan hak tanah garapannya sampai harus terjadi saling bunuh, saling bantai sungguh sadis dan ironis, dalam hal ini siapa yang disalahkan ?? Pemerintah atau instansi Pengadilan ??

Lembaga peradilan telah tercoreng dan tercemar oleh ulah oknum-oknum yang tidak patuh pada aturan dan ketetapan yang telah diputuskan bahkan lebih ironis lagi justru seakan mengabaikan perintah atasan, apakah ini bias didiamkan karena ini sudah jelas-jelas merugikan rakyat, padahal kalau kita mau intrsopeksi dan berkaca pada hati yang bersih sesungguhnya ulah oknum-oknum lembaga peradilan tersebut sungguh memalukan betapa tidak rakyat yang sudah jelas butuh perlindungan dan pengayoman malah diajadikan ajang untuk memperkaya dan memanfaatkan keadaan dengan posisi jabatannya।

Baru - baru ini di Pengadilan Negeri Kraksaan Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, yang berkedudukan di Jl Gatot Subroto Kecamatan Kraksaan - Probolinggo diduga kuat telah menyalahi prosedur dan melampaui batas wewenang dalam memeberikan keputusan kasus perdata yang mengakibatkan pihak penggugat ( pemenang) merugi hampir Milyaran Rupiah dan sampai saat ini masih stagnant (jalan ditempat) padahal menurut keterangan dari pihak penggugat dirinya telah mendapatkan keputusan hukum tetap dari Mahkamah Agung RI yang didalam keputusan MA tersebut menyatakan dan menetapkan bahwa dirinya ( penggugat ) ahli waris dan pemilik yang syah, sungguh ironis sekali, mengapa sampai merugi milyaran rupiah ?? ada apa dengannmu PN Kraksaan ????

Awal mula kejadian ini berawal pada kira-kira tahun 2001 terjadi konflik sengketa penguasaan tanah oleh B Sugiyanti Cs atas lahan sawah dan pekarangan yang bukan miliknya melainkan milik dari B Suto (alm) yang terletak di desa Krampilan Kecamatan Besuk Kabupaten Probolinggo seluas 7,5 Ha, perdamaian telah dilakukan namun tidak ada pernah kata sepakat dan pada akhirnya B.Suto (Alm) Cs mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Kraksaan terhadap B Sugiyanti Cs, dan atas Gugatan tersebut Pengadilan Negeri Kraksaan menjatuhkan putusan dengan nomor : 68 /Pdt.G / 2001 tanggal 2002 yang menetapkan bahwa penggugat ( B.Suto Cs ) adalah ahli waris yang syah dan menetapkan tanah sengketa sesuai bukti buku desa terdiri dari sbb :

  1. Tanah Sawah, persil 68, S.III luas 2,510 ha. C No. 302 dikenal dengan sebutan blok Baan
  2. Tanah Pekarangan/kering, persil 2 d. II, luas 0,315 ha
  3. Tanah Sawah persil 39, S.III luas 0,635 ha. C No. 302 dikenal dengan sebutan blok Buntoan
  4. Tanah Sawah persil 40, S.III luas 0,936 ha. C No. 302 dikenal dengan sebutan blok Nangger
  5. Tanah Sawah persil 54, S.II luas 1,699 ha. C No.302 dikenal dengan sebutan blok Anggur.
  6. Tanah Sawah persil 57 a, S.III luas 1,624 ha. C No.302 dikenal dengan sebutan blok Cerme

Yang menyatakan menurut hokum bahwa tanah sengketa tersebut diatas yang selama ini dikuasai oleh pihak tergugat ( B.Sugiyanti Cs ) adalah perbuatan melawan hokum dan tanpa hak serta menghukum para Tergugat ( B Sugiyanti Cs ) untuk segera mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkan tanah sengketa tersebut diatas kepada para penggugat ( B.Suto Cs ).

Setelah B Suto Cs dinyatakan menang oleh Pengadilan Negeri Kraksaan kemudian B Sugiyanti Cs mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi di Surabaya dan pada Keputusan Pengadilan Tinggi di Surabaya pada tanggal 05 Nopember 2002 No : 615 / PDT / 2002 / PT SBY yang juga dimenangkan oleh B Suto Cs dan kemudian berlanjut hingga Keputusan Mahkamah Agung RI pada tanggal 01 Maret 2006 dengan No : 1577 K / Pdt / 2003 dalam keputusannya adalah mengabulkan gugatan para penggugat ( B.Suto Cs), Menetapkan menurut hokum bahwa para penggugat ( B.Suto Cs) adalah ahli waris yang syah dan berhak mewarisi harta sengketa yang dikuasai pihak tergugat ( B.Sugiyanti Cs ).

Namun karena tidak puas dengan putusan dari PN Kraksaan, PT Surabaya dan Mahkamah Agung RI kemudian salah satu dari pihak Tergugat ( Roby ) yang saat terjadi perkara adalah menjabat sebagai Kepala Desa Krampilan, berusaha mencari jalan supaya tanah tersebut tidak bias dikuasai oleh B Suto Cs, akhirnya Roby mangajukan perlawanan tertulis kepada Panitera Pengadilan Kraksaan dan diterima dengan alas an bahwa tanah sengketa tersebut salah satunya adalah keliru , Roby melampirkan bukti buku C desa yang telah direkayasa sedemikian rupa sehingga meyakinkan akhirnya upaya perlawanan tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri Kraksaan, dan disinilah letak kesalahan dari Panitera Pengadilan Negeri Kraksaan, karena yang mengajukan gugatan perlawanan adalah pihak tergugat yang telah diputus dan ditetapkan kalah dalam perkara sebelumya No. 32 / Pdt.Plw / 2006 / PN Kab.Probolinggo namun Pihak Pengadilan Negeri Kraksaan jelas menyalahi aturan dalam memberikan keputusan yang seharusnya itu adalah wewenang Ketua Pengadilan Kraksaan ( Dwi Budiarso ) saat perlawanan banding menyatakan bahwa Tanah Sengketa Non Eksekusitable ( tidak bisa di eksekusi ) adalah Hakim Cq ( Suparno ), sungguh ini suatu kejanggalan yang ditemui tim redaksi expose saat meninjau ke Pengadilan Negerri Kraksaan melalui Ketua Pengadilan Dwi Budi Arso seakan terkesan tertutup dan sepertinya enggan untuk melaksanakan eksekusi tanah tersebut, Dwi Budi Arso mengatakan Tanah tersebut masih dalam permohonan Kasasi MA mas, jadi saya harus nunggu keputusan tersebut ujarnya terkesan dibuat-buat, permohonan kasasi yang mana ??? padahal dalam keputusan Mahkamah Agung sudah ditetapkan bahwa permohoan kasasi dari tergugat ( B.Sugiyanti Cs ) sudah ditolak bahkan beberapa waktu yang lalu dari salah satu ahli waris mengatakan ( P.Salam ) PN Kraksaan sudah ditegur keras pak oleh Pengawas PN dan dari PT Surabaya waktu itu agar segera melaksanakan Eksekusi, namun entah pak kayaknya tidak

digubris, padahal keputusan PN sudah dinyatakan dibatalkan dan cacat hokum oleh Pengadilan Tinggi Surabaya, ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sudah mulai beruban dan tampak goresan wajahnya yang menua ditambah lagi persoalan keuangan yang semakin hari semakin membengkak apalagi tanah hak yang diwarisinya dari almarhum kakek neneknya telah dikuasai orang, kini para ahli waris yang sebenarnya dengan dimenangkannya perkara tersebut sudah bisa menikmati hasilnya , tetapi hanya bisa menelan ludah dan kepahitan karena pihak pengadilan negeri tidak berpihak padanya ( penggugat / B.Suto Cs ), aduh pak, kami sudah tidak punya apa-apa lagi , buat dimakan saja kami harus hutang sana-sini, gimana dengan anak-anak kami SPP nya nunggak, rumahnya pun dijual untuk biaya perkara sekarang kami kalau sudah tidak ada kepastian dari pihak pengadilan negeri , mungkin kami akan melakukan cara kami sendiri untuk menguasai dan merebut harta kami pak, kalo perlu kami mati demi anak-anak kami saya ikhlas pak , biarlah lebih baik kami mati demi mempertahankan lahan pekarangan dan sawah kami daripada harus hidup menderita pak, sudah cukup pak kami menderita 8 tahun ini imbuhnya sambil sesekali menghisap rokok eceran yang hanya bisa dinikmatinya sehari sekali, sementara itu dari pihak tergugat / yang kalah ( B.Sugiyanti Cs ) dari pantauan dan temuan tim media X-pose dilapangan malah seakan berlomba mumpung ada kesempatan menumpuk dan menimba kekayaan yang bukan haknya, seakan B Sugiyanti Cs menari-nari diatas penderitaan orang lain, para pembaca yang setia demikianlah potret buruknya sistem kinerja aparatur negara yang seharusnya menegakkan keadilan dan mementingkan kepentingan rakyat dari kepentingan pribadi, bukankah gaji/penghasilan dari pegawai adalah dari uang rakyat ???? mengapa justru malah tega menyengsarakan rakyat demi menumpuk kekayaan dan kepentingan pribadi, bagaimana generasi penerus bila diberikan contoh kinerja seperti ini yang sebenarnya sangat memalukan. ( Ari / Didik )

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE