
Entah apa gerangan, hanya ada satu dua kendaraan yang mencoba menerobos dingginnya malam. Tot…tot…tot…bunyi klakson sebuah mobil kanvas tiba-tiba memecah kesunyian kawasan. Kendaraan itu perlahan mulai merapat ke tepian dekat sebuah warung kecil yang berada cukup jauh dari pemukiman warga. Dua orang pemuda paruh baya yang tampak kedinginan berlari-lari kecil masuk ke dalam warung mengkindari gerimis hujan. Ya…itu dia warung panjang yang belakangan mulai populer di kalangan pengemudi truk dan mobil box di Pantura. Memasuki warung mungil minuman mulai menyeruak. Tapi dua pemuda itu tak buru-buru memesan minuman. Mereka lebih memilih makan mie rebus, mungkin sudah keroncongan selepas menancap gas seharian dari arah
Belakangan tercium wanita-wanita itu bukan sekadar pelaris warung tapi siap diajak kencan. Biasanya mereka dibawa langsung pengemudi truk tapi ada juga yang mungkin sudah kebelet langsung "tancap gas" di tempat itu. Karena di belakang tersedia bilik-bilik kecil yang siap dijadikan "arena perang". Sambil menenggak minuman oborolan antara pemuda itu dan wanita-wanita penghibur pun terus mengalir dan gelak tawa mulai membahana. Mata salah seorang pria tadi mulai memerah, mungkin kebanyakan minum. Lama berselang satu dari dua orang pria tadi mulai tampak bosan. Wanita seakan sudah paham dan tak lama kemudian mereka sama-sama beranjak ke belakang. Diam sejenak. Entah apa yang mereka lakukan di belakang.
Truk truk angkutan merapat di sebuah tempat peristirahatan. Mereka beristrihat sambil menikmati hidangan "lezat" dan menjelang pagi mereka akan meluncur lagi.
Satu jam kemudian baru pria itu keluar sambil membereskan kancing bajunya. Tepat sepertiga malam, hujan mulai reda dan mereka pun mulai meluncur ke tempat tujuan. Belakangan tercium kalau sopir-sopir truk dan kanvas sering singgah di tempat itu sekadar melepas lelah sambil menikmati sajian “lezat” yang tersedia. Ya...sekadar menghangatkan badan di kala hujan menghadang di tengah perjalanan.
Selain warung panjang di sepanjang Pantura ada juga rumah sekaligus berfungsi sebagai tempat esek-esek atau rumah bordir. Dalam suatu kesempatan “Y” yang disebut-sebut maminya para PSK saat ditanya tidak menepis keberadaan bisnis itu. Apalagi kawasan Besuki yang menjadi tempat mangkal lama para PSK sudah diberangus
rupa. Setelah suami saya meninggal pun usaha ini tetap saya lakukan dan aman-aman saja,” beber “Y” (53), germo bekas tempat komplek pelacuran Rajawali, Kecamatan Besuki, belum lama ini. Menurutnya, jaminan keamanan merupakan kunci utama dalam bisnis esek-esek ini. Anak buahnya yang mangkal di rumah bordil ini menjadi nyaman. Usaha yang mereka lakukan dapat berjalan tanpa ada rasa was-was atau takut bakal digaruk. Apalagi, sejak lokalisasi Rajawali di tutup oleh Pemkab Situbondo, banyak PSK yang datang mencari tempat baru. Namun untuk antisipasi Mami "Y"cukup pintar menutupi dan memang usaha rumah bordil yang dikelolanya tidak terlalu kentara karena di sampingnya ada warung sebagai tempat memesan minuman dan makanan. Mobil box (kanvas) juga sering mampir sekadar melepas lelah setelah menjalani perjalan yang cukup panjang. Sembari istirahat, mereka bisa menikmati hidangan yang tersaji.
“Rth” (27) , anak buah Mami “Y” yang berasal dari Krucil Probolinggo-pun tidak menutupi adanya jaminan keamanan di lokasi barunya ini. “Sebelumnya saya di lokalisasi Padang Bulan Banyuwangi Bang. Di sana banyak sekali gangguan, apalagi saingan antar PSK juga mulai ketat, kebanyakan sekarang banyak pendatang baru yang usianya masih sangat muda (ABG) jadi saya lebih banyak nongkrongnya ketimbang melayani tamu, tamu sekarang banyak memilih cewek yang masih muda, usaha ini terpaksa kita lakukan untuk meringankan beban keluraga di kampung,” ungkapnya. Sebagai single parent, ibu sekaligus bapak dari anak tunggalnya yang di tinggal di sebuah desa terpencil dikawasan Probolinggo, bersama orang tuanya, “Rth” terpaksa banting tulang mencari uang. Untuk kerja kantoran tidak mungkin, karena tidak punya ijazah. Pendidikan yang dijalaninya pun hanya sampai kelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar