|  Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante          Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke          Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling          hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh          Westerling serta anak buahnya adalah war crimes (kejahatan perang) dan          pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, sebagian besar          dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi          militer Belanda. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan          adalah kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Menurut          International Criminal Court (ICC) di Den Haag,         Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah          genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang          menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu          menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas          kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa          tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran          HAM yang mereka lakukan. 
 Ulah Westerling serta anak buahnya baik di Medan, Sulawesi Selatan, Jawa          Barat mau pun dalam peristiwa APRA,  hingga kini belum ada          penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci,          hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan          "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil         mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari pengkapan dan          pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.
 
 Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang          pembunuh kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia          adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari          kolaborator Jepang dan elemen komunis.
 
 Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling's          Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor.          Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai          sepak-terjang Westerling  selama di Indonesia dan pelariannya dari          Indonesia setelah "kudetanya" yang gagal. Nampaknya ada hal-hal          yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut          penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana "kudeta",          yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda,          dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari          penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan          dalam bahasa Indonesia.
 
 
  Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas”          tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang          di Jawa tergabung dalam                                              ABDACOM (American,          British, Dutch, Australian Command) dihancurkan oleh tentara ke XVI          Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal          Hitoshi Imamura. 
 Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara          Inggris, yang ditugaskan oleh          Allied Forces          (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan          para interniran Eropa dari tahanan Jepang serta memulihkan ketertiban          dan keamanan. Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia          menugaskan Letnan Jenderal          Sir Philip Christison memimpin Allied Forces          in the Netherlands-Indies – NEFIS (Tentara          Sekutu di India Belanda).
 
                         |  |               | General IMAMURA Hitoshi, commander of the              Japanese Eighth Area Army, signs the surrender documents during the              official surrender ceremony on board the British aircraft carrier              HMS Glory off the coast of Rabaul, 6 September 1945. With this act              Lieutenant General Vernon A. H. Sturdee, commander of the Australian              First Army, accepted the surrender of all Japanese forces in New              Guinea, New Britain and the Solomons. |  Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut          Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan.          Brondgeest ditugaskan untuk mengkoordinasi pemulihan tawanan serta          interniran Sekutu yang berada di Sumatera Utara.
 Pada 6 September 1945          Brondgeest mulai merekrut semua orang mantan tentara KNIL yang berada di          kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan          ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu          Brondgeest.
 
 Kemudian pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul          Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan memimpin          rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de          Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan          Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling membawa seragam dan          persenjataan untuk 175 orang. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest.
 
 Westerling lahir di Istambul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak          kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou, yang berasal dari Yunani.          Westerling, yang dijuluki “si Turki” karena lahir di Istambul, mendapat          pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus          1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas          di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Westerling          termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh          latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di          Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui          pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi          komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris          sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth”          (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara          lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”,          “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry”          dsb.
 
 Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang          sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling          berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis          Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara).          Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60          km di utara kota Poona.
 
 Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere          Opdrachten -                                              BBO (Biro untuk          Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel          dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling          dipanggil untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944          pangkatnya naik menjadi Sersan         Mayor. Tanggal 25 Juni 1945 dia masuk ke dinas KNIL dengan pangkat          (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan ditugaskan di Sri          Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut         Korps Insulinde (KI).
 
 Di Eropa, Jerman sudah menyerah dan kekalahan tentara Jepang hanya          tinggal menunggu waktu saja. Di Australia dan Sri Lanka,         Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk          kembali ke Indonesia.
 
 
  Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik          darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan          tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi          Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor          mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri,         komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa. 
 Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda pertama kali tiba di          Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh          pelatihan dari seorang perwira Belanda mantan anggota Korps Insulinde.          Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan          dengan cepat.
 
 Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge,          Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari          Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta          meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu          yang memungkinkan pelatihan parasutis di Hindia Belanda.
                         |  |  |               | Jhr. M.W.C. de Jonge | Sisselaar sedang melatih              tentara KNIL Moerdjorna warga Pribumi |  Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek,          dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil          dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada          15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten          – SOP (Sekolah Pelatihan          Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan          pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam          agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki          Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.
 Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan          dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana          terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian          pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di          Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp          pelatihan.
 
 Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi          tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara          yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang          menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka berasal dari suku          Ambon, Menado, Jawa, Sunda, Timor,          Melayu, Toraja, Aceh dan beberapa orang Tionghoa.          Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga          banyak yang tidak lulus pelatihan         tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa          dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.
                     |  |             | Marsose »» KNIL »»  Heiho/Peta »» TKR »» ABRI »»  TNI (modern            reformation) |  Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I          (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan          C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947,          pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir          (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian          pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di          Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris          baru tiba pada bulan Oktober 1947.                         |   Latihan KNIL di CImahi
 |               | The Chindits
 |                     Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah          dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor                   Charles Orde          Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya          yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”,          yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi          di belakang garis         pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi          Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer          Belanda II. 
 Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL                  W.J. Schneepens mengembangkan          gagasan untuk membentuk suatu “speciaale troepen” (pasukan          khusus) dalam KNIL (Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah          perwira Korps Marechaussee –marsose- yang bertugas di Aceh. Dia tewas          pada tahun 1913 akibat tusukan rencong). Gagasan ini kemudian mendapat          persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat          pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan          Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale          Opleidingen - DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor          Jenderal KNIL E.         Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk          menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di Hindia Belanda. Kamp          dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.
 
 Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan          khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk          sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun          tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil          meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke         Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat          pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan          namanya membumbung tinggi.
 
 Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris          mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn,          menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya,          tingkat kebangsawanannya naik; Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar          Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.
 
 Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh          Belanda, kemudian diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague          (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral          Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas          Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun          1811.
 
 Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat          tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh          ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan          gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post          (lihat: Post, Sir Laurens van der, The Admiral’s Baby, John Murray,          London 1996 hlm. 268): “I cannot imagine circumstances more lethal          for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”
 
 Laurens van der Post adalah seorang perwira tentara Inggris kelahiran          afrika Selatan, yang bertugas di Indonesia (India-Belanda) dan          diinternir selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada bulan September          1945, dia diangkat menjadi Gubernur Militer tentara Inggris untuk          Jakarta (Batavia).
 
 Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh,          Panglima Divisi 5 –penghancur dan pembantai Surabaya November 1945- yang          menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th          British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.
 
 Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul          Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in          Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan          kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa          perilaku Belanda dan militernya yang brutal terhadap rakyat Indonesia          telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der          Post menulis:
 “… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at          the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the          Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the          ordinary British soldiers.”
 
 Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal          melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga kebiadaban          tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak          diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan,          kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di          Surabaya pada bulan November 1945.
 
 Sementara itu, dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal          Leslie "Ming the mercyless" Morshead “membersihkan” kekuatan bersenjata          pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia Timur, dan setelah          wilayah tersebut “bersih dan aman”, diserahkan kepada          Netherlands-Indies Civil Administration (                                                                                                   NICA),          sesuai persetujuan CAA (Civil Affairs Agreement) yang ditandatangani di          Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945.
 
 Sebenarnya persetujuan tersebut antara Inggris dan Belanda, di mana          Inggris membantu Belanda “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik          Indonesia yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan          setelah kekuatan bersenjata RI dihancurkan, maka wilayah tersebut          diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord Louis         Mountbatten, Supreme Commander South-East Asia tidak mempunyai cukup          pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara Inggris dibantu          dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morsehead          -yang karena kekejamannya mendapat julukan "Ming the Merrciless", tokoh          kejam dalam cerita fiksi Flash Gordon- yang         sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area          Command) pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur (Hutagalung-2001,          hlm. 164 – 165). Hal ini jelas penyalahgunaan tugas dari Allied Forces          (tentara Sekutu).
 
 Setelah menganggap bahwa Indonesia Timur telah “bersih” dan aman, maka          pada 13 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia          Timur kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Kemudian          van Mook  segera memanggil orang-orang Indonesia dari Indonesia          Timur pendukung Belanda untuk mengadakan pertemuan di         Malino, dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 16-22 Juli 1946 Belanda          menggelar yang dinamakan                   Konferensi Malino.
 
 Inggris yang kemudian diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi          kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan          Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946. (lihat: Hatta,          Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta 1962, hlm. 493).
 
 Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan         delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh          Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14          Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan          oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya          dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit          yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, sejak pecahnya Perang          Dunia II di Eropa- kembali ke negaranya.
 
 Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati,          dekat Cirebon, sehingga hasil perundingan tersebut kemudian dinamakan          Persetujuan Linggajati. Butir yang terpenting bagi Indonesia tertuang          dalam pasal 1, yaitu:
 
 “Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah          Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Adapun daerah-daerah          yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan          berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan          dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”
 | 
                | Tragedi kemanusiaan          di Sulawesi Selatan 
  Sementara di Linggajati tengah dilakukan perundingan, di daerah-daerah          di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit dari          rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian          masal terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik. 
 Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh,          perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap          malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan          tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena          tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan         tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan          pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda          di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak          dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
 
 Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya,          Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan          pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di          Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan          Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta          mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling          diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil          langkah-langkah yang dipandang perlu.
 
 
  Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang          terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju          Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendidikan markasnya di Makassar.          Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang          telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas          intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta          para pendukung mereka. 
 Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin          120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa          Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency          (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak          berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de         Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman          Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional),          di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan          terhadap penduduk dan tahanan.  Suatu buku Pedoman untuk Counter          Insurgency.
 
 Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam          tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta          beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri          yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin          oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong         dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff          beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama          Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu          operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
 
 Pada fase pertama, pukul 4 pagi          wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai          penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa          Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha  melarikan diri          langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer,          sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah          terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat.          Westerling  melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000          orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
 
 
  Fase kedua dimulai, yaitu mencari          “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling          sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang          diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang          telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus          membantunya mengidentifikasi para         “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung          dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama          Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses          pengadilan, tuntutan dan pembelaan. 
 Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah          "11 ekstremis", "23 perampok" dan "seorang pembunuh.”
 
 Fase ketiga adalah ancaman kepada          rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta          pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir          “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa          masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30          telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
 
 Demikianlah “sweeping a la Westerling” Dengan pola yang sama,          operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus.          Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada          malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati.          Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar,          sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
 
 Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran          desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23          orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter          Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di          wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16          menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah          tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris”          dieksekusi.
 
 Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”,                                     aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya          adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut          laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta          sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini,          Pasukan DST         menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII.          Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di          bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan          lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada          gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330          orang rakyat tewas dibunuh.
 
 Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan          pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang,          yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga          dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL.          Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
 
 Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946          Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk          wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang          telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak          tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak          mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.          Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan          dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), adakalawa
 (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi          (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa          (28.1.).
 
 
 
 Seorang saksi mata yang  menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah  Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda  adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu  Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258  –263). Berikut ini adalah cuplikan penuturannya:
 '... Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah,  dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil  paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa  ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak  lagi teman-teman seperjuangan yang lain."
 
 Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke  penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan.  Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan. Pagi itu tanggal 4  Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara  besar Pare-Pare.
 
 Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang  lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur  terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian  memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami  disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan  kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan  lagi keluar menuju lapangan tenis. Begiru kami berhenti, kami dibentak disuruh  berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri  melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di  tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak  juga.
 
 Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang  Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana  pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu  mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok!  Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara  tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.
 ayah gugur ..... Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai  menembak, westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini  perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”
 “Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah  negeri kami sendiri!!!” teriak saya
 geram...
 ...Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak  dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya  disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih  sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan  bergelimpangan di tanah ...
 Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara  besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya  dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam.  Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP.  “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh  bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di  situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan  seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil  menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di  gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman  itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya  dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya,  kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke  luar ruang dan ... saya pun tidak sadarkan diri.
 
 Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah  mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh  saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan  kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya  semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan  tidak berdaya ... Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu...'
 
         Saksi mata dan juga  korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A.  Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah  Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya:'... Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi  KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang,  termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang  kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.
 
 Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m,  ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal  2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling,  yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di  lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf  Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam  Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H.  Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan  di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru.
 Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap          orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.          Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain,          seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara          Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan          Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI),          Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak          lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang          diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu          diakhiri hidupnya.
 
 Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa          Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan          wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua          Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI),          Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung          Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam          Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari          kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah
 dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis          Kewanitaan.
 
 Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra          dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang          gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung,          mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang          gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan          NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra          dan Abdul Wahab Anas.
 
 ...Kami bersyuku,r bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut          karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak          terdapat dalam daftar ‘perampok’. ... '
 
 Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran          Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir          Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong.          Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh.          Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan          Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan          bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi          terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang          dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel,          melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan          atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan          bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
 
 H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata          pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk          dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati          beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh          peleton DST dengan sten gun.
 
 Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh          tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling.
 
 Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung          Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang          dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri. Pada aksi di Goa, Belanda          dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II          tetap setia kepada Belanda.
 
 Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa          keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia          menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor          de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL          (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan          Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
 
 Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan          Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan          komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda          memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke          Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad          menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers          Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan          baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
 
 Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena          dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar          dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan          komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari          KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara          KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST          dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan          kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando          pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.
 
 Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan          tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik          Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian          terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling          sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
 
 Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000          rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling,          sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang          dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang.
 
 Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan          pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan          “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh)          dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook.          Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi          Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
 
 Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke          dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity),          yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional,          karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity,          tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini          dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.
 
 Oleh Batara R. Hutagalung
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar