06 Februari, 2008

[penulislepas] Bahkan Hingga Mati, Soeharto Tak Berpihak ke Tempo

Setelah tertinggal seminggu menulis kematian dan sepak terjang
Soeharto, majalah Tempo yang baru terbit Senin kemarin justru diprotes
umat Katolik. Sampul depan majalah itu dianggap telah menyamakan Yesus
dengan Soeharto.

Oleh Rusdi Mathari
SOEHARTO yang meninggal dunia pada 27 Januari 2008, tak membawa berkah
kepada majalah Tempo. Saat meninggal pada pukul 13.10 pada hari Minggu
itu, majalah Tempo edisi 49/XXXVI/28 - 3 Februari 2008 sudah naik
cetak dengan laporan utama tentang jatuhnya harga saham dunia. Sebuah
laporan yang dipersiapkan beberapa hari sebelumnya, menyusul rontoknya
bursa saham dunia. Kematian Soeharto pada saat majalah itu sudah naik
cetak, tentu saja membuat awak redaksi Tempo harus "memutar otak" agar
berita itu juga bisa dimuat oleh Tempo yang terbit mingguan dan
disiplin dengan rapat perencanaan.

Karena tak ingin ketinggalan berita karena akan terbit dan beredar
pada Senin keesokan harinya, saya menduga pimpinan Tempo kemudian
menyetop proses naik cetak itu, meminta awak artistik membuat sampul
majalah yang baru dengan gambar Soeharto, lalu membuang sekitar 12
halaman berita di dalamnya dan menggantinya dengan berita kematian si
Jenderal Besar. Serba mendadak tentu saja sehingga isi majalah Tempo
karena itu didominasi oleh foto-foto kematian Soeharto. Ongkos yang
dibayar Tempo memang sangat mahal secara finansial dan secara materi
berita meskipun berhalaman-halaman iklan ucapan duka cita juga begitu
cepat diperoleh tim AE Tempo.

Kepada mas Bambu (Bambang Bujono-mantan Pemimpin Redaksi majalah D&R)
dan Dede (Nugroho Dewanto-wartawan Tempo) di tempat yang berbeda saya
berseloroh, "Soeharto kok ya tega kepada Tempo, mati pada saat majalah
itu sudah naik cetak." Dua orang itu tergelak.

Senin kemarin (4 Februari 2008) Tempo tentu saja "membalas dendam"
ketertinggalan berita soal kematian Soeharto itu. Laporan utama edisi
50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008 itu menurunkan seabrek tulisan tentang
Soeharto, bukan hanya soal kematiannya melainkan juga sepak terjangnya
selama berkuasa. Sebuah laporan yang cukup tebal, yang saya tahu
sebagian tulisan itu sudah dipersiapkan oleh awak Tempo jauh-jauh hari
sejak kira-kira enam atau tujuh tahun lalu. Pramoedya Ananta Toer yang
diwawancarai sebagai sumber pada beberapa tulisan dan M. Sadli yang
menulis kolom berjudul "Tentang Pasar dan Ekonomi Soeharto" bahkan
sudah lebih dulu mati dari Soeharto.

Celaka. Tempo yang menuliskan laporan lengkap tentang Soeharto itu
bahkan menurut saya terlalu lengkap jika dibandingkan dengan liputan
media cetak lain dan terutama dibandingkan dengan liputan televisi—
kali ini menuai protes. Sampul muka Tempo yang menukil lukisan
Leonardo d Vinci berjudul "The Last Super" yang menggambarkan Yesus
dan para muridnya usai bersantap malam— diganti oleh awak artistik
Tempo dengan Soeharto dan anak-anaknya. Umat Nasrani terutama umat
Katolik merasa "terganggu" untuk tidak disebut tersinggung dengan
sampul muka Tempo itu karena tidak menghormati Yesus dan menyamakannya
dengan Soeharto, dan murid-murid Yesus disamakan dengan anak-anak
Soeharto.
Di milis Forum Pembaca Kompas, Satrio Arismunandar (wartawan Trans TV)
yang saya tahu adalah orang pertama yang memposting email dengan
subjek "Protes terhadap cover Tempo tentang Soeharto" itu pada 4
Februari 2008 pukul 5.49 pagi (lihat "Protes terhadap Cover Tempo
tentang Soeharto", milis Forum Pembaca Kompas, 4 Februari 2008). Email
itu bukan berasal dari Satrio pribadi melainkan dari Pingkan Permata
yang dikirim ke milis begundal-salemba@ yahoogroups. com.

Isinya kurang lebih mempertanyakan kreativitas awak artistik Tempo.
Pingkan antara lain bertanya, "Apakah sudah ada ijin dari pihak yang
mempunyai hak terhadap karya tersebut?" dan menyatakan bahwa "karya
Leonardo da Vinci itulah yang dinodai oleh Tempo atas nama kreativitas. "

Saya tak mengikuti milis begundal-salemba itu, sehingga tak mengetahui
persis mengapa Pingkan merasa perlu mempertanyakan kreativitas awak
artistik Tempo dalam soal pembuatan sampul majalah itu. Namun dari
penjelasan Pingkan selanjutnya, email itu kemungkinan besar sedang
menjawab peserta milis yang lain yang merasa tersinggung dengan
"perubahan" gambar The Last Super itu.

Posting dari Satrio itu lalu ramai mendapat tanggapan. Hingga saya
menulis artikel ini pada pukul 20.30 WIB, sudah ada 30 penanggap atas
posting Satrio. Macam-macam, mulai yang protes dan tersinggung,
mencoba mendinginkan suasana hingga sekadar cuap-cuap lewat tulisan.
Puncaknya para pemuda yang mengatasnamakan perwakilan umat Katolik
mendatangi kantor majalah Tempo, di Jalan Proklamasi 72, Jakarta
Pusat. Mereka adalah Forum Komunikasi Alumni PMKRI, Pemuda Katolik,
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Forum
Masyarakat Katolik Indonesia, Solidaritas Demokrasi Indonesia, Wanita
Katolik Republik Indonesia, dan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.
Bukan hendak berunjuk rasa apalagi melakukan kekerasan fisik seperti
yang pernah dilakukan anak buah Tomy Winata, dulu pada 8 Maret 2003,
kepada Bambang Harimurti.

Mereka yang berjumlah delapan orang itu datang ke kantor Tempo untuk
meminta penjelasan soal sampul majalah Tempo. "Kita tidak demo, hanya
ingin berdialog," kata Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI, Hermawi
Taslim kepada detikcom (lihat "Perwakilan Katolik dan Tempo Berdialog
Soal Cover Majalah", detikcom 5 Februari 2002))

Awak redaksi Tempo saya percaya tentu saja senang dengan cara-cara
beradab semacam itu. Apalagi menurut saya, sangat kecil
kemungkinannya, bahwa awak redaksi Tempo dengan sampul majalah yang
dinukil dari kaya Davinci itu, sejak awal berniat membuat tersinggung
umat Katolik apalagi misalnya menyamakan Soeharto dengan Yesus. Di
selain agamanya berbeda, di Tempo juga banyak wartawan dan karyawan
yang beragama Katolik.

Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Toriq Hadad, karena itu lantas perlu
menyampaikan, bahwa, "Untuk segala hal yang menimbulkan
ketersinggungan, menimbulkan rasa tidak nyaman, menimbulkan sakit
hati, saya sebagai pemimpin redaksi Tempo, memohon maaf" (lihat
"Majalah Tempo Minta Maaf Soal Cover Edisi Soeharto", detikcom 5
Februari 2008)

Saya tertawa ketika menulis artikel ini, karena ingat dialog dengan
mas Bambu dan Dede, soal Soeharto yang memilih mati di hari Minggu,
ketika Tempo justru sudah naik cetak. Jangan-jangan Soeharto memang
dendam ke Tempo dan bermaksud agar majalah itu ketinggalan menulis
soal kematiannya? Ah jangan-jangan…

*Artikel lain bisa dibaca di http://www.rusdimat hari.wordpress. com

Tidak ada komentar:

Arsip Berita Klik disini

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE