15 Februari, 2008

SISI LAIN KEHIDUPAN MALAM


PENUTUPAN LOKLISASI DAN RAZIA

TIDAK MENYELESAIKAN MASALAH

Penulis: Pecinta kedamaian dan Anti Kekerasan

SEPANJANG akar persoalan tumbuhnya prostitusi tidak diatasi, maka selama itu pula masalah prostitusi tidak akan berakhir. Penutupan lokalisasi membuktikan, sarana tersebut tidak efektif untuk menyelesaikan persoalan pekerja seks komersial (PSK).

Pertama, pekerja seks menjadi tersebar di berbagai tempat dan tidak terdeteksi serta sporadis. Kedua, menutup lokalisasi berarti juga menutup mata pencaharian masyarakat sekitar yang bergantung pada keberadaan lokalisasi tersebut.

Ketiga, penutupan lokalisasi tanpa memberikan alternatif mata pencaharian bagi para pekerja seks di wilayah yang jauh lebih rentan oleh praktek kekerasan, pemerasan, dan pelanggaran HAM lainnya. Keempat, penutupan ini terkesan tidak didahului oleh penelitian karena pembuat kebijakan penutupan tidak melihat adanya fenomena bahwa diantara pekerja seks tersebut diantar oleh orang tuanya sendiri ke lokalisasi, dan orang tua merekalah yang langsung menerima penghasilan pekerja seks anak-anak.

Lebih dari itu semua, semakin sulitnya mereka memperoleh penghasilan berarti semakin memiskinkan mereka. Sehingga harapan untuk memperbaiki kehidupan dan masa depan serta keluarganya semakin jauh.

Oleh karenanya Koalisi Perempuan Indonesia berkesimpulan:

  1. Menghapuskan praktek prostitusi dengan menutup lokalisasi dan melakukan razia merupakan tindakan tidak masuk akal. Karena selama akar persoalan dari tumbuhnya prostitusi tidak ditanggulangi, yaitu kemiskinan dalam berbagai bentuk, semuanya menjadi sia-sia.
  2. Negara mempunyai kewajiban melindungi masyarakat, membebaskan masyarakat dari perasaan takut dan terancam. Bukan sebaliknya, justru menimbulkan perasaan takut dan terancam dengan razia yang marak dilakukan. Pasal 6 UU no. 7 tahun 1984, menyebutkan; Negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat termasuk pembuatan undang-undang untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran.
  3. Sidang komite PBB untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (19 Jan - 6 Feb 1998), membahas laporan pelaksanaan konvensi oleh pemerintah Indonesia, menyatakan, selama ini Indonesia tidak mempunyai hukum dan peraturan khusus, berkaitan dengan perdagangan perempuan (termasuk prostitusi). Padahal, secara formal, KUHP tidak mengancam pelaku prostitusi dengan pidana, namun pasal 297 KUHP melarang adanya perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur. Tetapi negara tidak melakukan penegakan hokum atas pelanggaran tersebut. dan mungkin Perda di berbagai daerah menganggap tindakan melacur adalah tindakan melanggar tata tertib sosial ( pelanggaran terhadap kesusilaan). Namun Perda tersebut sesungguhnya tidak cukup adil, sebab pemerintah tidak melakukan pemberdayaan bagi masyarakat dan tidak ada upaya-upaya lain yang dapat menghambat lajunya perkembangan prostitusi.

Pekerja Seks Tanggung Jawab Negara dan Masyarakat

Tanggung jawab negara (Pemda dan DPRD) dan masyarakat harus meliputi dan bergerak pada tiga level sekaligus. Yaitu mengubah situasi-situasi yang menempatkan perempuan terdesak ke prostitusi melalui demokrasi dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang berkeadilan bagi kelompok masyarakat laki-laki dan perempuan, misalnya memberikan peluang berusaha yang adil. Mengubah cara pandang dan relasi (hubungan) yang tidak seimbang antara laki-laki dan Perempuan, sebab selama ini pandangan mengutamakan laki-laki dan merendahkan perempuan merupakan salah satu akar permaslahan dari lahirnya ketimpangan social. Meningkatkan jaminan dan perlindungan hokum bagi perempuan seperti misalnya mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan termasuk diantaranya adalah poligami dan penelantaran isteri atau bekas isteri beserta anak-anaknya (preventif). Kemudian, penanganan bagi mereka yang telah menjadi pekerja seks diarahkan upaya memberikan berbagai ketrampilan pada masyarakat agar mereka dapat melakukan usaha dibidang ekonomi dan meningkatkan daya beli, meningkatkan pelayanan kesehatan, pungutan pajak yang memberatkan serta tak membiarkan mereka menjadi obyek eksploitasi, pemerasan dan kekerasan sehingga pekerja seks mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk membuat pilihan hidup dan pilihan profesi (kuratif).

Level Rehabilitatif : menggugah kesadaran kritis atas situasi yang melingkupi mereka dan program peningkatan penapatan yang dapat menghidupi berdasarkan kebutuhan, serta memberikan tempat yang layak di masyarakat dalam proses alih profesi dan perubahan hidup.

REKOMENDASI:

Sementara menunggu penyusunan peraturan dan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 UU no. 7 tahun 1984, maka praktek razia atau penertiban yang cenderung menimbulkan kekerasan perlu dihentikan.

Tidak ada komentar:

Arsip Berita Klik disini

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE