15 Februari, 2008

REDAKSIONAL


Mestikah Profesi Wartawan Ditakuti?

(sebuah kado ulang tahun bagi HARI PERS NASIONAL & Tabloid X-pose)

Oleh: Anies Septivirawan

Hari sudah mulai gelap ketika di suatu sore yang hangat saya menyudahi perbincangan dengan seorang tokoh, di coffee shop sebuah hotel di Situbondo. Saat bersama-sama menuju tempat parkir, si tokoh berujar; “Eh, obrolan kita tadi sampai di sini saja ya. Jangan jadi berita, lho…”

Saya sendiri sedikit pun tak berniat menjadikan obrolan itu sebagai berita. Toh, kami memang sekadar ngobrol, bukan wawancara. Lagi pula, yang diobrolkan adalah urusan-urusan yang tak begitu menarik bahkan untuk bahan liputan sekalipun.

Tetapi begitulah kerap orang bersikap bila bertemu wartawan. Pernah suatu hari, seorang tokoh lain lagi, yang kebetulan belum mengenal saya, tiba-tiba terkejut ketika diperkenalkan bahwa saya adalah wartawan. Usai pertemuan tak sengaja tersebut, sang kawan yang berjalan bersama saya berujar, “…tadi Pak Anu itu nanya, kok bawa wartawan sih?”

Banyak sekali kejadian di mana wartawan dianggap seperti sosok menakutkan (monster)yang, kadang-kadang, memunculkan stigma: daripada jadi masalah, lebih baik dituruti saja maunya. Kalau satu orang wartawan saja “ditakuti”, apalagi berpuluh-puluh wartawan yang berhimpun dalam sebuah organisasi!!

***

Di tengah cukup banyak kritik mengenai profesi jurnalis, saya sampai hari ini tetap bangga menjadi wartawan. Setidaknya karena saya sendiri merasa menjalankan profesi kewartawanan saya dengan baik (menurut saya sendiri sih-red). Meski begitu saya tak bisa menutup mata, bahwa juga ada potret buruk mengenai komunitas pers hari ini; suka terima (atau minta) amplop, kadang-kadang memeras, baik dengan cara halus maupun cara preman, memperdagangkan informasi untuk diberitakan atau tidak diberitakan, berlaku arogan seolah-olah wartawan adalah masyarakat kelas satu.

Dalam konteks tersebut, agak sulit mengomentari perilaku wartawan, atau katakanlah oknum wartawan, atau malah hanya mengaku wartawan, yang menyalahgunakan profesi jurnalis untuk kepentingan yang tak ada hubungannya dengan berita. Komunitas wartawan pun berada pada posisi yang sulit untuk ikut campur urusan sesama. Ibaratnya, sedapat mungkin tak saling mengganggu lah. Kecuali bila urusan itu (ternyata) telah menyentuh ranah publik.

Saya termasuk yang menganjurkan wartawan diperlakukan secara wajar. Sebab kami adalah manusia biasa juga, yang dalam hal profesi sebenarnya tidaklah seistimewa profesi yang lain. Sebagai manusia kami pun tidak sesempurna jagoan-jagoan heroik yang kalau di film selalu menang. Bukan pula malaikat penjaga surga yang senantiasa dilingkupi kebenaran. Ada saat di mana wartawan harus ditengok dari sisi kemanusiaannya; bisa khilaf, bisa salah, bisa nakal, bisa curang.

Saya harus menganjurkan soal ini mengingat begitu banyak pengalaman di mana tokoh-tokoh pejabat dan pengusaha kita tak berkutik ketika “dikepung” sekelompok wartawan yang, secara terang-terangan, minta duit, misalnya. Seorang pejabat kenalan saya bercerita, pernah untuk sebuah acara, dia harus habis Rp25 juta untuk “mengamplopi” wartawan.

“Padahal saya tidak mengundang mereka. Acara ini pun sebenarnya juga tidak harus diberitakan,” katanya. Hanya dengan pertimbangan menjaga hubungan baik, si pejabat akhirnya harus keluar duit dari kocek pribadi.

Seorang kawan pengusaha bercerita perusahaannya menyiapkan “dana non budgeter” khusus untuk meladeni wartawan yang bertamu dengan maksud meminta uang. “Mereka mengaku wartawan, lengkap dengan id card. Ya saya sih sudah ngerti. Mereka datang bukan untuk wawancara, melainkan minta duit,” katanya. Daripada repot, yang model begini biasanya dilayani dengan “dana non budgeter” tadi.

Sedemikian parahnya, sampai-sampai wartawan menjadi seperti momok. Memang bukan melulu salah wartawan. Sering juga karena pejabat atau pengusaha yang takut dengan wartawan itu memang punya masalah, lantas khawatir masalahnya diberitakan. Kalau tidak punya masalah, untuk apa takut?

***

Hari ini adalah Hari Pers Nasional, entah yang ke berapa karena saya termasuk yang tak begitu peduli. Lepas dari sejarah kenapa hari ini ditetapkan sebagai Hari Pers, menurut saya inilah saatnya komunitas pers melakukan introspeksi; haruskah wartawan menjadi sosok yang ditakuti? Tidakkah wartawan perlu berlaku dan diperlakukan wajar seperti halnya warga negara yang lain? Ketika seluruh elemen bangsa terus bergerak mereformasi diri, pers termasuk yang masih harus direformasi.

Salam perjuangan, Pers Indonesia!

Tidak ada komentar:

Arsip Berita Klik disini

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE