15 Februari, 2008

UNGKAPAN HATI YANG TER-ASINGKAN

Bukan Pilihan Hidup

Keterpurukan memang bukan pilihan. Acapkali ini karena suatu keterhempasan. Dan tiba-tiba diri yang terjerembab dan terasa sulit untuk dientaskan, meskipun teriakan sekencang apapun sering diperdengarkan. Ya, suara mereka, terutama yang sering kita sebut pelacur, siapa yang peduli untuk mendengarkan, kecuali mereka yang akan dan sedang antuaias membutuhkan “jasanya”. Setelah itu, nama dan wajahnya akan dilupakan karena transaksi sudah usai.

Harga dia hanya bernilai rupiah, tak lebih. Itu pun, bagi pekerja seks komersial, rupiah itu hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup beberapa hari, bahkan mungkin untuk hari ini saja. Esok hari, mesti bertransaksi lagi. Begitulah seterusnya. Bekerja benar-benar dengan fisiknya. Tanpa hati tanpa pikiran. Jika dicermati, keseharian mereka bak robot. Hanya menjalankan . Menjalankan kemestian atau pilihan? Keduanya tak bisa kita amini, karena manusia seharusnya punya daya berontak untuk menentukan jalan hidup. Akan tetapi, bagi kalangan marginal, kaum pinggiran, langkah-langkah dan arah hidup tak banyak pilihan. Pilihannya terkadang hanya bertahan hidup. Nah, dengan alasan “bertahann” inilah, jalan-jalan sesakit apapun dilaluinya.

Menelusuri ke belakang dan mencari sebab-sebab, bisa berentet panjang. Minimnya pendidikan, atau bahkan sama sekali tak pernah sekolah, adalah salah satu faktor. Tapi mengapa tidak berpendidikan? Mungkin karena kemiskinan. Mengapa miskin? Ya, mungkin tidak adanya modal atau kesempatan memperoleh pekerjaan, dan sebagainya yang kait mengkait.

Namun, tak sedikit juga bukan karena dari diri mereka sendiri, melainkan karena kebijakan-kebijakan Pemerintah yang salah. Boleh jadi, mereka adalah korban pembangunan, tanah atau ladangnya tergusur, dsb. Sempitnya lapangan pekerjaan juga membuat yang miskin kian tak berdaya. Dan mereka yang terkalahkan dalam persaingan yang sempit itu, tak punya pilihan. Tetap bertani sulit, jadi buruh tidak mudah, pembantu rumah tangga pun tersisih, ataupun pilihan yang ada belum memenuhi target minimum penghidupannya. Maka .PSK merupakan pilihan terburuk yang harus dijalani. Tak seorangpun dari mereka pernah bercita-cita menjadi PSK. Tetapi hidup harus dipertahankan.

Ya, di sini kita tak bicara penghibur yang higt class . Tapi penghibur kelas pinggiran yang muncul dari kemiskinan keluarga dan lingkungannya. Mungkin kita ikut andil “melahirkannya” karena ketakpedulian kita ataupun kebijakan serta peraturan-peraturan yang kita terapkan sama sekali tak berpihak pada nasib mereka. Andaikan kita yang pelacur karena latar kemiskinan, adakah suara-suara aspirasi-aspirasi yang ingin kita kemukakan?! (ar/red)

Tidak ada komentar:

Arsip Berita Klik disini

PROFIL X-POSE

Foto saya
Situbondo Jawa Timur, Email: xpose_news@yahoo.com, Indonesia
PENDIRI: PEMIMPIN REDAKSI / UMUM: ARI SYAMSUL ARIFIN. REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: DIDIK BINTARA H. REPORTER: ANIES SEPTIVIRAWAN + CREW X-POSE